Kamis, 08 Januari 2015

KEARIFAN LOKAL PEMBENTUK KARAKTER MASYARAKAT NIAS

KEARIFAN LOKAL
PEMBENTUK KARAKTER MASYARAKAT NIAS

Ketut Wiradnyana
Balai Arkeologi Medan

Pendahuluan
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang penduduknya memiliki proses pembentukan budaya yang sangat panjang. Berbagai bentuk kebudayaan dengan unsur-unsurnya merupakan hasil dari proses budaya masa prasejarah yang memberikan pengaruh bagi kebudayaan Nias. Adapun budaya masa prasejarah yang  bukti-buktinya terekam dari hasil penelitian di antaranya adalah budaya Paleolitik, Mesolitik, Neolitik(Megalitik) dan budaya Dongson (perunggu). Masing masing budaya tersebut cenderung dibawa oleh kelompok manusia dengan ras yang berbeda, tentu pembauran manusia dan budaya sangat mungkin pernah berlangsung di wilayah ini. Sehingga bentuk budaya yang ada merupakan hasil pembauran yang telah disepakati sebagai sebuah budaya yang dapat diterima seluruh masyarakatnya.

Adanya pembauran manusia dan budaya tentu juga telah ada pembauran tata nilai yang dilandasai dengan kesepakatan bersama, sehingga nilai-nilai tersebut dapat diterima oleh semua warga masyarakat dan berlaku lama. Kalau diamati budaya materi masyarakat Nias sekarang ini maka cenderung lebih dominan akar budayanya mencirikan masa Neolitik dengan budaya Megalitiknya. Berkembangnya budaya Neolitik tersebut diindikasikan adanya migrasi terakhir yang membawa budaya itu dengan aspek teknologi, mata pencaharian hidup dan religi yang lebih maju dan kompleks dibandingkan dengan budaya sebelumnya. Folklor masyarakat juga menggambarkan proses migrasi terakhir yang dilengkapi dengan informasi adanya religi, struktur dalam masyarakat, organisasi sosial, penggunaan logam dan telah dikenalnya padi (lihat Mendrofa,1981; Wiradnyana, 2010:164189).

Dengan panjangnya periode hegemoni manusia di wilayah Pulau Nias ini, maka berbagai nilai sosial tentu juga telah berlangsung dari sejak adanya manusia pada masa prasejarah hingga masa sekarang. Nilai-nilai yang disepakati dan masih sesuai dengan kondisi di masa sekarang tersebut merupakan kearifan lokal. Kearifan tersebut merupakan salah satu landasan bagi masyarakat dalam beraktivitas agar masyarakat menjadi lebih teratur dalam kehidupannya. Keteraturan tersebut tidak hanya menyangkut hubungan antarmanusia tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungan. Beberapa nilai-nilai yang ada pada masyarakat masa prasejarah kiranya dapat berkaitan erat dengan nilai-nilai masyarakat masa sekarang, oleh karena itu beberapa bagian dari kearifan masa prasejarah dapat dijadikan landasan awal bagi pengenalan kearifan masa selanjutnya.

Adapun aspek-aspek kearifan yang dapat dicontoh diantaranya upaya adaptasi  terhadap lingkungan melalui berbagai cara hidup dan pemanfaatan berbagai bahan baku dilingkungannya, serta aspek arsitektur yang diperlukan dalam menyikapi lingkungan. Karakter masyarakat yang adaptif tersebut itu sangat jelas terekam dalam budaya dimasa selanjutanya yaitu dalam bentuk tradisi perubahan nilai-nilai yang tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan semata tetapi juga aspek sosial yaitu perubahan sosial. Upaya penghormatan terhadap sesama melalui berbagai aspek simbol dan upaya melengkapi aspek religi yang dianggap sesuai dengan konsep yang telah ada. Hal tersebut menggambarkan bahwa kearifan lokal masyarakat Nias tidak hanya dalam aspek budaya materi semata tetapi juga dalam tataran konsep.

Didalam proses pembentukan budaya Nias hingga menjadi budaya seperti sekarang ini tentu juga membentuk karakter masyarakatnya. Pembentukan karakter dari masa ke masa yang didasarkan atas berbagai nilai-nilai, merupakan kearifan lokal. Keseluruhan proses tersebut dapat diketahui melalui berbagai aktivitas masyarakatnya. Aktivitas masyarakat tentu mengalami banyak permasalahan, sehingga dalam upaya keberlangsungan kehidupan masyarakatnya memunculkan berbagai kearifan. Adapun permasalahan yang akan diuraikan berkaitan dengan hal tersebut adalah bagaimana bentuk kearifan pada masa prasejarah hingga ke masa kemudian ?. Upaya itu akan diawali dengan aspek matapencaharian yang pada akhirnya berkaitan dengan unsur kebudayaan lainnya, dengan ruang lingkup dari pembahasannya meliputi data arkeologis dari sejak masa Mesolitik, Neolitik (Megalitik) hinga ke masa sekarang pada masyarakat Nias di Pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Diharapkan dari uraian aktivitas tersebut akan dapat diketahui bentuk kearifan yang masih relefan hingga masa sekarang. adapun metode yang digunakan dalam upaya menjadikan sebuah informasi dari objek arkeologis dari berbagai masa tersebut diawali dengan mendeskripsi objek arkeologis yang ditemukan untuk kemudian diinterpretasikan baik dalam konteks nilai-nilai, lingkungan, religi  dan lainnya.

Kearifan lokal, dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Nilai-nilai pada masyarakat Nias juga telah disepakati bersama antara kelompok warga bahkan antarmasyarakat di lingkungan oraganisasi sosialnya. Oleh karena itu kearifan yang mengadung nilai-nilai luhur tersebut merupakan perwujudan simbol di dalam masyarakat. Simbol digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah obyek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat terwujud dalam bentuk obyek fisik (benda-benda kasat mata), kata-kata (untuk mewakili obyek fisik, perasaan, ide-ide dan nilai-nilai) serta tindakan (yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam komunikasi dengan orang lain)”. (Charoon dalam Soeprapto 2002). Lebih jauh Soeprapto (2002) mengutip teori fungsional bahwa setiap kelompok dalam masyarakat akan melaksanakan tugas tertentu dan secara kontinyu, karena ini merupakan cermin dari apa yang disebut sebagai fungsional tersebut. Sebuah prilaku atau tindakan sosial akan bisa dibenarkan karena hal tersebut dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. Suatu pola prilaku bisa muncul dan sekaligus bisa hilang dan berubah sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi dan sesuai dengan kebutuhan apa yang diinginkan dalam masyarakat tertentu (Soeprapto 2002).

Sehubungan dengan uraian tersebut maka perubahan/perkembangan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Nias disebabkan oleh perubahan sosial yang telah berlangsung di masyarakat. Selain itu juga perubahan lingkungan dan unsur-unsur kebudayaan sangat memegang peran penting dalam berubahnya nilai-nilai sehingga kearifan yang telah dimiliki sangat mungkin juga tidak sesuai dengan nilai-nilai pada masa selanjutnya. Kondisi tersebut membentuk karakter masyarakat Nias dan sekaligus menjadi corak perilaku masyarakat secara umum.


Wilayah dan Budaya Masyarakat Nias
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang terdapat di pantai barat Pulau Sumatera. Pulau ini masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa Nias memiliki budaya khas yang berkaitan dengan tradisi megalitik. Pola perkampungan yang cenderung berada pada areal perbukitan yang didatarkan, secara umum terdiri dari dua baris rumah tempat tinggal yang saling berhadapan. Berbagai tinggalan dari tradisi Megalitik yang berbahan batu diletakkan di depan rumah adat, sebagai simbol status sosial penghuninya. Simbol status sosial juga ditunjukkan dari besar kecilnya rumah adat, atau tinggi rendahnya bangunan megalitik serta raya tidaknya pola hias baik yang ada rumah adat ataupun bangunan megalitik.  Di dalam rumah adat biasanya diletakkan berbagai arca perwujudan leluhur, pahatan berbagai perhiasan ataupun alat-alat musik yang dimiliki.

Wilayah budaya dari terminologi budaya yang didasarkan pada teknologi mengindikasikan adanya sebaran-sebaran budaya pada wilayah dan waktu tertentu. Sebaran budaya dalam satu wilayah menggambarkan aktivitas yang berlangsung dengan ciri budaya yang sama atau hampir sama. Secara umum wilayah budaya di Pulau Nias dapat dibagi menjadi dua yaitu: wilayah budaya Nias bagian utara dan wilayah budaya Nias bagian selatan. Sedangkan pembabakan budaya dapat membantu menggambarkan proses budaya yang terjadi dalam wilayah itu sendiri. Pertanggalan yang telah dilakukan dan tinggalan budaya yang telah dihasilkan pada situs-situs terpilih di Pulau Nias mengasumsikan proses kehidupan manusia masa lalu di Pulau Nias dari masa Paleolitik yaitu sebelum 12.000 BP hingga ke masa sekarang.

Keletakan Kabupaten Nias di daerah Katulistiwa menyebabkan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Akibat banyaknya curah hujan mengakibatkan kondisi alamnya sangat lembab dan basah.  Seringnya banjir bandang mengakibatkan juga sering berpidahnya aliran sungai yang diakibatkan juga oleh struktur batuan dan tanah yang labil.

Tanah di Pulau Nias kurang subur namun masih mampu menghidupi berbagai anekaragam hayati, yang merupakan tumbuhan domestik hasil budidaya masyarakat secara turun temurun, di antaranya padi (Oryza sativa) jagung (Zea mays), ketela rambat (Convolvulus batatas) yang dibudidayakan di sawah atau ladang. Selain itu berbagai tanaman lainnya juga diusahakan. Berbagai jenis hewan hidup di pulau ini, di antaranya jenis-jenis ikan (Pisces), baik dari laut, tambak maupun kolam air tawar, babi (Sus sp.), kerbau (Bovidae), dan kambing (Capra sp.). Di samping itu di wilayah tertentu masih dapat dijumpai hewan-hewan liar di antaranya rusa (Cervidae), berbagai jenis burung (Aves), termasuk burung beo Nias dan babi hutan (Sus sacrofa).

Geografis Nias yang berbukit-bukit menyebabkan mata pencaharian penduduk terbagi atas dua yaitu penduduk yang tinggal di pesisir pantai akan bergerak dalam bidang perikanan yaitu sebagai nelayan dan penduduk yang berada di pedalaman akan mengusahakan pertanian dan perladangan sebagai mata pencaharian. Penduduk yang di pesisir di samping sebagai nelayan juga mereka mengusahakan perkembangbiakan ikan melalui tambak. Penduduk yang bertani biasanya hanya menanam padi untuk kebutuhan keluarganya saja (subsistensi) adapun selain pertanian mereka juga bergerak dalam bidang perkebunan yaitu perkebunan karet, nilam, cengkeh dan tanaman muda lainnya. Mata pencaharian yang lainnya adalah beternak yaitu beternak babi dan ayam. Berburu pada saat sekarang sudah sangat jarang dilakukan mengingat hutan di Nias sudah semakin habis begitu juga dengan binatang buruan, seperti babi hutan, kancil, dan rusa sudah dapat dikatakan langka di daerah ini.

Data Arkeologis dan Etnografis
Di Pulau Nias, budaya tertua yang didasarkan atas aspek morfologi dan teknologi kapak batu, diidentifikasi sebagai kapak genggam dari pembabakan budaya Paleolitik. Mengingat data masa Paleolitik masih sangat terbatas dan belum dilakukan penelitian intensif yang disertai dengan carbon dating sehingga menyulitkan untuk mengetahui kapan masa Paleolitik di Pulau Nias mulai berlangsung. Dari perbandingan dengan morfologi dan teknologi kapak batu di Togi Ndrawa maka budaya Paleolitik di Muzoi dipastikan lebih tua dari 12.000 BP.

Pada masa Mesolitik, keberadaan aktivitas manusia di pesisir timur Pulau Sumatera sangat intensif berlangsung termasuk ke Pulau Nias. Gua Togi Ndrawa dengan berbagai tinggalannya membuktikan bahwa kelompok pendukung budaya Hoabinh pernah beraktivitas cukup intensif di wilayah ini yaitu dari 12170 ± 400 BP hingga 850 ± 90 BP. Kelompok manusia yang pendukung budaya Hoabinh ini umumnya memiliki ras Australomelanesoid. Mereka mengeksploitasi biota marin sebagai bahan pangan utama. Berburu juga dilakukan pada areal di sekitar lokasi hunian. 

Data masa Neolitik dalam kaitannya dengan keberadaan kapak lonjong dan kapak persegi belum ditemukan di wilayah ini. Namun masih dalam babakan yang sama dimungkinkan  telah ada migrasi yang membawa budaya Dong Son dan juga Megalitik. Keberadaan migrasi yang terjadi di Pulau Nias juga diindikasikan dari folklor yang berkembang di masyarakat bahwa nenek moyang yang datang di Pulau Nias menggunakan perahu. Ini mengasumsikan bahwa migrasi pernah terjadi pada saat Pulau Nias sudah berpisah dengan Pulau Sumatera yang berarti bahwa migrasi berlangsung pada saat masyarakat sudah mengenal transportasi air. Hal tersebut tentu terjadi setelah masa-masa Neolitik, yang masyarakatnya sudah memiliki budaya yang lebih maju, bercocok tanam serta kemungkinan sudah mengenal religi yang lebih kompleks.

Folklor asal-usul masyarakat Nias yang menyebutkan bahwa leluhur pertama turun di Boronadu, Sifalago Gomo untuk kemudian menyebar diantaranya ke Tundrumbaho dan wilayah di Utara Nias diantaranya ke Hili Gowe. Folklor dimaksud sesuai dengan hasil analisa karbon di Boronadu yang ditarikhan  576 ± 30 BP dan adanya keramik Anammese yang memiliki masa sekitar abad ke- 14 – 16 M serta hasil carbon dating pada situs Megalitik di Tundrumbaho, Gomo yang memiliki masa sekitar 340 ± 120 BP serta  carbon dating pada situs Megalitik Hili Gowe, Mandrehe berkisar 260 ± 120 BP. Hasil analisa dimaksud menunjukkan adanya migrasi di pedalaman Pulau Nias (Boronadu)  sekitar abad ke- 14.

Tata letak pemukiman masyarakat Nias Selatan adalah linear atau garis lurus yang bertemu silang tegak lurus. Pola tersebut membentuk ruang luar memanjang yang diapit deretan rumah-rumah adat dalam susunan yang berderet rapat. Permukaannya selalu didirikan pada suatu lahan dengan profil permukaan datar di suatu puncak bukit.  Pola tata letak tersebut membentuk lansekap  seperti halnya pola pemukiman di wilayah perairan  sungai dengan alur lalu lintas perahu di bagian tengahnya. Selain itu sistem bangunan dan perumahannya yang berderet menampilkan langgam arsitektur yang menggambarkan suatu bentuk dari perahu. Bentuk atap rumah adat Nias Selatan memiliki kemiripan dengan bentuk layar kapal-kapal kuno dengan hiasan kepala naga (lasara) di bagian depannya (Joedodibroto 2008,197).

Masyarakat Nias umumnya mengenal sistem struktur sosial yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, si’ ila, salawa) dan kelompok masyarakat biasa (sato).  Ada juga melihat struktur sosial masyarakat atas tiga bagian yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, si’ila, salawa), kelompok masyarakat biasa (sato) dan kelompok budak (sawuyu, harakana). Masyarakat Nias dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya membagi masyarakat atas empat bagian yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, salawa), kelompok bangsawan, penasehat (si’ila), kelompok masyarakat biasa (sato) dan kelompok budak (sawuyu, harakana). Sedangkan dalam kegiatan religi masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan masyarakat yaitu: siulu (bangsawan), ere (pemuka agama),  Ono mbanua/sato (rakyat biasa) dan  Sawuyu (budak).

Kelompok kekerabatan yang terkecil yang disebut keluarga batih di Nias paling tidak ada dua penyebutannya. Keluarga batih di Nias bagian Utara disebut fanganbaton sedangkan di Selatan disebut gagambato. Dalam masyarakat Nias kelompok yang terpenting adalah Sambun mohelo atau sambua faono (keluarga luas) yaitu keluarga batih senior beserta keluarga batih putera-puteranya yang tinggal bersama di dalam satu rumah, dan merupakan satu kesatuan ekonomis. Keluarga luas ini boleh berpisah jika keluarga anaknya dapat membangun sendiri rumah yang tentunya dibarengi dengan pesta adat. Kelompok kekerabatan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga luas dari satu leluhur disebut Mado. Seperti halnya marga pada masyarakat Batak, Mado di Nias juga memiliki cabang-cabang.

Dalam masyarakat Nias kelompok organisasi sosial yang terkecil disebut gana.  Kelompok organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa keluarga batih dari satu marga atau dapat juga dari beberapa marga yang di dalam desa itu tidak cukup banyak anggotanya dalam membentuk gana tersebut. Dalam kelompok gana itu terdapat seorang pemimpin yang tugas fungsinya sangat jelas pada upacara adat saja. Kumpulan dari pada beberapa gana disebut nafolu. Seperti halnya gana, nafolu juga dipimpin oleh seseorang yang tugas fungsinya sangat jelas hanya pada upacara adat saja. Kumpulan dari beberapa nafolu disebut banua, yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya disebut salawa (di utara) dan siulu (di Selatan). Selain pejabat tersebut di desa juga ada pejabat lain yang di sebut si’ ila yang diangkat oleh rakyat dan tidak didapatkan secara turun temurun. Si’ ila ini dalam sebuah kampung jumlahnya bisa banyak dan pemimpin si’ ila disebut balo si’ ila. Di Selatan pemimpin banua yang disebut siulu memiliki pemimpin lagi yang disebut balo siulu. Sedangkan kumpulan dari beberapa banua disebut öri (negeri) yang dipimpin oleh tuhenöri (Wiradnyana 2010, 162).

Kepercayaan masyarakat Nias tradisional meyakini bahwa kematian tidak merubah status sosial pada waktu si mati masih hidup. Artinya kalau si mati itu memiliki kedudukan tinggi dalam masyarakat seperti golongan si’ulu maka di alam sana dianggap masih berkedudukan sebagai si’ulu atau sebaliknya jika yang meninggal itu adalah masyarakat biasa (sawuyu) maka di alam sana si mati tidak akan berubah statusnya. Kematian dianggap sebagai salah satu proses untuk menuju dan hidup di alam lain, sehingga segala prosesi kematian yang dilakukan di alam nyata ketika masih hidup akan mempengaruhi juga kehidupan di alam lain.
Dengan keyakinan seperti itu maka prosesi kematian bagi seseorang juga akan sangat penting, terlebih bagi kelompok bangsawan. Kelompok bangsawan akan tidak mau menurunkan/diturunkan statusnya (bila perlu dinaikkan lagi), sehingga berbagai prosesi kematian dibuat lebih megah dan dianggap mampu memberikan kehidupan yang lebih baik dari aspek ekonomi dan juga sosial dan religi di alam sana bagi si mati. Berbagai prosesi yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan yang berakibat positip bagi kehidupan di alam lain diantaranya melalui kurban babi dan bekal kuburnya. Sedangkan aspek sosial dalam prosesi kematian yang berakibat terhadap kehidupan di alam lain yaitu, perlakuan terhadap si mati dengan memberikan wadah kubur dan juga prosesi penguburan skunder. Untuk aspek religi yaitu, akan didapatkan dari prosesi yang telah dilakukan selama masih hidup dan juga pada waktu tokoh itu mati dengan berbagai kurban dan sarana maka dianggap sebagai bekal yang cukup bagi si mati untuk berada di lapisan langit tertentu. Ketiga aspek tersebut sejalan dengan uraian Malinowski bahwa kebudayaan itu harus dapat memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis (Syam 2006, 31).

Mengingat hal tersebut maka bagi golongan bangsawan akan melakukan prosesi kematian dengan sebaik-baiknya dan semegah-megahnya sehingga si mati statusnya tidak berubah bahkan kalau dimungkinkan lebih meningkat lagi. Hal ini sebagai upaya untuk meningkatkan status sosial dan menempatkan roh si mati  berada pada lapisan langit yang paling tinggi melebihi status sosial ketika si mati masih hidup. Salah satu upaya dimaksud yaitu, dengan menempatkan jasad si mati ke dalam wadah kubur yang berbentuk perahu. Bagi masyarakat biasa hal itu tidak dapat dilakukan karena prosesi dimaksud memerlukan kurban babi yang cukup banyak selain menyiapkan berbagai keperluan/bahan wadah kubur. Selain itu aturan adat yang mengaturnya, diantaranya berbagai prosesi disesuaikan dengan status sosial si mati di masyarakat kecuali mendapatkan persetujuan dari bangsawan tertinggi (balo si’ulu) di kampungnya.

Strategi Adaptasi Masa Mesolitik
1.               Strategi Pemenuhan Bahan Makanan
Hasil penelitian di Gua Togi Ndrawa mengidentifikasi moluska dari kelas Pelecypoda dan Gastropoda yang merupakan bahan makanan. Bahan makanan yang dikonsumsi dalam upaya melangsungkan hidupnya dipilih bahan makanan yang melimpah di sekitar situs yang tentunya mudah didapat. Berbagai jenis moluska dimungkinkan hidup di sekitar situs, mengingat keletakan situs yang dekat dengan laut dan muara sungai sehingga menghasilkan lingkungan manggrove yang ideal bagi habitat berbagai jenis moluska (lihat Wissema 1947). Dalam strategi adaptasi dengan lingkungan manusia penghuni Gua Togi Ndrawa tidak hanya memanfaatkan moluska yang hidup di air payau saja akan tetapi juga moluska yang hidup di air tawar/darat dan laut namun intensitasnya sangat sedikit. Adanya variasi moluska dari berbagai habitat mengasumsikan bahwa mereka telah mengenal sumber makanan di lingkungannya dan sekaligus menjalankan strategi adaptasi akan pemanfaatan bahan makanan di lingkungannya.

Dalam pola pengkonsumsian moluska menunjukkan bahwa moluska yang hidup dan berkembang pada musimnya menjadi bahan makanan yang utama. Hal tersebut tampak dari lapisan moluska pada kotak ekskavasi, yang memiliki kecenderungan bahwa pada masing-masing lapisan moluska selalu didominasi oleh salah satu jenis moluska. Begitu juga kuantitas moluska yang tampak pada satu lapisan budaya menunjukkan adanya variasi moluska tertentu yang dominan, sedangkan pada lapisan di bawahnya jenis moluska lain yang dominan. Ekskavasi di Gua Togi Ndrawa memperlihatkan  moluska Telecopium telescopium dan Neritidae selalu dominan dibandingkan dengan moluska yang lain. Kalau Neritidae tidak dominan maka Thiaridae atau Arcticidae yang dominan. Adanya kelompok moluska yang dominan pada setiap lapisan tertentu menunjukkan bahwa jenis moluska tertentu tidak selalu tersedia pada lingkungannya (keberadaannya berkala), sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan mereka memanfaatkan moluska dari jenis yang lain. Pemanfaatan jenis moluska yang lain dapat saja dari lingkungan sejenis (mangrove) atau dapat juga dari lingkungan lainnya yaitu pantai dan darat.

 

Strategi adaptasi dalam pemenuhan bahan makanan juga dilakukan dengan perburuan di sekitar situs. Hal tersebut tampak pada berbagai jenis tulang binatang yang ditemukan dari penggalian seperti Suidae (babi), Boaidae (ular), Vanaridae (biawak) dan Testudinidae (bulus, kura-kura), Chanidae (ikan), Scilla serrata (kepiting) yang diindikasikan sebagai hewan yang dikonsumsi selain moluska. Adanya variasi pada ekofak (moluska dan tulang binatang) di Gua Togi Ndrawa tidak terlepas dari terbatasnya bahan makanan yang dihasilkan lingkungannya yang diantaranya diakibatkan oleh kondisi alam (musim).

 

Pengambilan/pengumpulan kerang dilakukan juga dengan mempertimbangkan kondisi pasang surut air mengingat pada saat pasang surut (bulan mati) keberadaan kerang dari famili Arcticidae akan mudah didapatkan karena famili tersebut pada umumnya hidup di pasir pantai yang dangkal. Sebaliknya pada bulan purnama tentunya pengkonsumsian moluska dari famili yang lainnya seperti Thiaridae yang cenderung dikumpulkan. Thiaridae pada saat pasang naik akan lebih mudah didapatkan pada tumbuhan bakau, karena hewan ini akan naik ke batang-batang pohon menghindari terendam air pasang. Kemampuan membuat keputusan-keputusan dalam upaya memenuhi kebutuhan akan makanan dengan memodifikasi jenis makanan yang selama ini menjadi makanan utamanya melalui berbagai kondisi yang dihadapi tentunya merupakan bagian dari strategi adaptasinya. Strategi adaptasi yang dilakukan kelompok manusia masa itu jelas memberikan pembelajaran akan upaya untuk mengekploitasi lingkungan dengan pengetahuan yang seimbang terhadap kondisi alam. Bahwa kehidupan itu hendakanya disikapi dengan menyiapkan seperangkat strategi dalam memahami kondisi alam sehingga kehidupan berlangsung terus seperti yang diharapkan. Bahwa ada kesadaran yang muncul berkaitan dengan terbatasnya salah satu jenis bahan pangan sehingga diperlukan upaya-upaya lain untuk memenuhi kebutuhan pangan. Pemahaman tersebut menjadikan adanya pengetahuan mengenai siklus ketersediaan bahan pangan dan sekaligus menguatkan penyadaran adanya siklus dalam kehidupan.

           

2.               Strategi Pemenuhan Peralatan Hidup

Peralatan hidup sehari-hari yang dapat dikumpulkan dari Gua Togi Ndrawa diantaranya dapat dibedakan atas dua: peralatan berbahan anorganik dan berbahan organik. Peralatan berbahan anorganik teridentikasi sebagai batu dan peralatan berbahan organik diantaranya tulang, tanduk dan cangkang moluska.

Peralatan berbahan batu pada umumnya berbahan batuan karts dan sebagian kecil andesit dengan karakteristik peralatan berupa alat serpih, pipisan, pemukul dan kapak genggam. Alat serpih merupakan peralatan yang paling banyak ditemukan pada situs Togi Ndrawa. Sedangkan peralatan berbahan tulang dan tanduk sangat sedikit ditemukan dan teridentifikasi sebagai lancipan dan sudip. Untuk peralatan berbahan cangkang kerang memanfaatkan cangkang Articidae dengan melalui peretusan kasar dan halus, selain itu ditemukan juga peralatan dari cangkang Tridacnidae.

Dengan melimpahnya bahan makanan  terutama moluska maka peralatan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup tentunya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk mengolah bahan makanan berupa moluska tentunya tidak banyak memerlukan peralatan-peralatan yang masif. Sehingga bahan peralatan hidup dicari dari sekitar hunian. Didalam perjalanan hidupnya, berbagai pengalaman yang dihadapi tentu menghasilkan pengetahuan praktis untuk memanfaatkan bahan peralatan hidup sehari-hari. Mereka memanfaatkan bahan peralatan yang telah tersedia di sekitarnya. Bahan peralatan tersebut pada umumnya dari batuan karts yang melimpah di sekitar gua. Bahan batuan lain juga ditemukan namun tidak banyak jumlahnya. Dengan adanya berbagai bahan batuan tersebut jelas mereka memiliki pengetahuan akan karakter batuan yang sesuai dengan peralatan yang diperlukan untuk memenuhi fungsinya. Pemilihan batuan karts tentunya melalui keputusan yang sekaligus merupakan strategi adaptasi manusia pendukungnya. Pengetahuan akan karakter batuan merupakan pengetahuan yang didapatkan dari kehidupan sehari-hari. Keberadaan peralatan dengan berbagai karakter yang dihasilkan dari sampah makanan menunjukkan daya kreatifitas yang tinggi kelompok manusia masa itu. Perkembangan pengetahuan kelompok manusia masa itu tampaknya dimulai dari pemahaman akan lingkungannya dan keinginan yang kuat untuk memudahkan kehidupannya.

Kearifan Masa Neolitik dan Masa Setelahnya
Dalam salah satu folklor lisan asal usul leluhur masyarakat Nias disebutkan bahwa pada awalnya ada sekelompok manusia yang terdampar di Muara Susua, kemudian kelompok manusia tersebut menyusuri sungai itu ke arah hulu dan bertempat tinggalah mereka di Boronadu, Gomo. Sebelum tinggal di Hulu sungai tersebut dimungkinkan kelompok manusia itu pernah menetap di pesisir dalam beberapa kurun waktu. Pada waktu menetap di pesisir pantai, kemungkinan telah dilakukan upaya pertanian, namun upaya tersebut kemungkinan tidak berhasil. Ketidakberhasilan itu berkaitan dengan kondisi pesisir yang cenderung terjal dan berkarang, selain tidak cukup lahan untuk bercocok tanam serta lapisan humus yang tipis. Kondisi alam yang sering hujan sehingga kerap terjadi banjir bandang dan perubahan alur sungai merupakan kondisi alam yang juga menghambat keberhasilan pertanian. Selain itu adanya penghuni yang lebih awal bertempat tinggal di Pulau Nias, sehingga kepindahan merupakan upaya untuk menghindari konflik. Oleh karena itu maka imigran terakhir di Nias Selatan berpindah ke arah hulu sungai Susua yaitu memilih bertempat tinggal di pedalaman.

Dengan berpindahnya kelompok orang ke hulu sungai, tentu cara hidup sebagai nelayan ditinggalkan dan difokuskan pada cara hidup dengan berburu dan bertani. Perubahan cara hidup menjadi petani dan pemburu dimungkinkan karena mereka juga adalah petani dan pemburu serta telah membawa berbagai bibit pertanian dalam perjalanan dari daerah asal. Perpindahan lokasi hunian menjadikan ketergantungan pada mata pencaharian hidup sebagai pemburu dan petani/peladang.

Bagi kelompok masyarakat tradisional, setiap ada perubahan sosial yang mendasar merupakan tahapan dalam kehidupan yang memerlukan prosesi religi. Maka di dalam perubahan unsur mata pencaharian hidup juga dilakukan prosesi upacara yang diantaranya di ikuti dengan pembuatan symbol-simbol. Perubahan mata pencaharian hidup dari sebagai pemburu, nelayan dan petani menjadi pemburu dan petani/peladang memunculkan symbol-simbol nelayan di dalam berbagai benda budaya masyarakat. Simbol dimaksud dapat berupa bentuk fisik ataupun tata nilai dan digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh masyarakat yang menggunakannya. Masyarakat itu memberi arti, menciptakan dan mengubah obyek tersebut didalam interaksi. Adapun bentuk-bentuk unsur budaya yang berubah dan disimbolkan diantaranya adalah bentuk perahu, aktivitas memancing dan juga penyelaman di laut serta bentuk ikan. Bentuk lainnya yaitu dibuat dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang menyangkut perairan seperti pola perkampungan dan juga binatang mitos (lasara). Bentuk-bentuk simbol dimaksud merupakan hasil dari kesepakatan seluruh masyarakat karena simbol merupakan hasil dari interaksi masyarakat bahwa mereka mengenal unsur kehidupan dimaksud sebagai unsur kebudayaan yang saling terkait antar unsur kebudayaan lainnya (Geertz 1995,33).

Mata pencaharian hidup merupakan salah satu unsur kebudayaan yang ada pada setiap kebudayaan kelompok masyarakat. Mata pencaharian hidup sebagai nelayan merupakan satu keterampilan yang tidak semua orang mampu untuk melaksanakannya. Dengan demikian mata pencaharian sebagai nelayan merupakan suatu keterampilan yang memiliki nilai sosial tinggi di masyarakat atau paling tidak memiliki nilai sosial yang setara dengan mata pencaharian sebagai petani. Tukang besi pada masa perundagian memiliki status yang berbeda dengan masyarakat biasa. Artinya ada status khusus (lebih tinggi) dibandingkan masyarakat biasa. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sebagai nelayan merupakan status khusus dalam masyarakat Nias bagian selatan, sehingga mata pencaharian hidup sebagai nelayan dianggap memiliki keterampilan yang lebih selain sebagai pemburu. Orang yang memiliki ketarampilan sebagai nelayan dan juga sekaligus sebagai petani tentu memiliki status yang tinggi dimasyarakat dibandingkan sebagai pemburu atau hanya memiliki satu keterampilan dalam mata pencaharian hidup. Sehingga penggambaran akan aspek-aspek yang berkaitan dengan nelayan pada masyarakat petani itu memberikan nilai lebih di masyarakat.

Secara umum hal tersebut menguraikan adanya pola makna yang telah berlangsung sebelum masyarakat berpindah dari pesisir ke pegunungan. Pola makna tersebut tetap doioperasionalkan dalam masyarakat sekalipun lingkungan tempat tinggal dan mata pencaharian hidup telah berubah. Upaya mempertahankan pola makna dimaksud merupakan bentuk kearifan masyarakat dalam upaya mempertahankan kebudayaan yang ada. Tersirat bahwa ada kearifan yang ditunjukkan bahwa nilai-nilai yang telah ada untuk tetap dilestarikan sekalipun kondisi masyarakat telah berubah

1.               Kearifan Dalam Arsitektur
Kondisi geografis Pulau Nias yang berada pada jalur patahan, sehingga menjadikan areal ini sering mendapatkan gempa. Tampaknya kondisi pulau seperti itu disikapi dengan pembuatan arsitektur yang khas yang kiranya mampu memberikan ketahanan jika terjadi gempa. Selain itu juga arsitektur di Pulau Nias menggambarkan aspek sosial dan religi masyarakatnya. Sehingga arsitektur rumah tinggal pada masyarakat Nias merupakan penggambaran aspek lingkungan, manusia dan religinya. Adapun aspek yang mencirikan akan adanya kearifan dalam menyikapi gempa diantaranya adalah keberadaan tiang–tiang penyangga yang disusun untuk menopang beban yang berat dicerminkan lewat ukuran tiang yang cukup besar dan lewat persilangan-persilangan balok-balok yang dirancang vertikal, horisontal dan diagonal. Arsitektur dengan tiang penyangga seperti itu kiranya memberi arti positif bagi perkembangan arsitektur moderen dan juga dalam upaya mendapatkan pondasi rumah yang kokoh. Keberadaan rumah di Nias bagian selatan yang cenderung tingggi dan besar dibuat berhimpitan seperti sebuah gerbong kereta juga merupakan upaya untuk mendapatkan kekuatan yang lebih dalam menghadapi goncangan. Selain itu rumah juga merupakan simbol yang menggambarkan adanya  struktur dalam masyarakat dan juga dalam kosmologi. Sehingga rumah adat dalam masyarakat Nias juga berstruktur yang terkait dengan struktur sosial di masyarakat. Mengingat rumah adat itu juga menyimbolkan aspek religi (kosmologi) maka fungsi rumah juga digunakan dalam prosesi religi.

Migrasi yang berlangsung pada babakan budaya Neolitik di Nias bagian selatan dan pada masa itu di Nias bagian utara telah ada kelompok manusia yang memiliki budaya yang berbeda dengan yang datang di Nias bagian selatan, maka arsitekturnyapun menjadikan kedua wilayah budaya ini berbeda. Namun beberapa aspek yanga ada, seperti kesamaan pada pemanfaatan tiang-tiang penyangga yang besar diindikasikan sebagai bentuk percampuran konstruksi dan adanya struktur pemanfaatan ruang yang berkaitan struktur sosial.

2.               Kearifan Dalam Religi
Folklor asal usul masyarakat Nias juga menggambarkan adanya migrasi dari Nias bagian selatan ke Nias bagian utara. Hal itu juga menggambarkan adanya pengaruh yang kuat budaya dari Nias bagian selatan ke Nias bagian utara. Kondisi ini juga dibuktikan dari informasi sebagian besar masyarakat di  Nias bagian utara yang kerap menyebut asal-usulnya dari Gomo. Adanya migrasi tersebut juga diikuti dengan aspek religi. Namun konsep religi yang muncul antara Nias bagian selatan dengan Nias bagian utara berbeda, seperti penempatan adu zatua di Nias bagian selatan yaitu di dalam rumah sedangkan pemujaan leluhur bagi sebagian masyarakat Nias bagian utara yaitu di luar rumah. Perbedaan itu merupakan upaya dalam mempertahankan prosesi yang dilakukan, namun konsep dasar seperti halnya pemujaan terhadap leluhur/orang tua masih tetap sama. Atau dapat dikatakan adanya variasi dalam pemujaan leluhur dalam religi lama.

Folklor (hoho) tentang alam sebagai bentuk budaya lisan masyarakat Nias (Selatan) menyebutkan bahwa, alam ini terbagi atas 9 (sembilan) lapisan. Masyarakat Nias bagian selatan mengimplementasikannya dalam bentuk susunan atap rumah adat (omo hada) yang ditemukan hanya pada rumah adat bangsawan tertinggi dan telah melakukan seluruh tahapan prosesi upacara owasa/faulu (upacara meningkatkan status sosial). Hal itu memberi pengertian bahwa wujud budaya hasil karya manusia adalah merupakan simbol dari alam lain, atau konsep-konsep yang ada dalam alam lain diwujudkan kedalam bentuk nyata berupa simbol-simbol dalam alam nyata. Pada masyarakat Nias bagian utara lapisan langit itu dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu lapisan atas untuk roh suci, lapisan tengah untuk manusia dan lapisan bawah untuk binatang. Adanya perbedaan konsep tersebut jelas menunjukkan adanya kekuatan masyarakat Nias bagian utara dalam memegang konsep kosmologi dalam religi yang berbeda dengan masyarakt Nias bagian selatan. Namun aspek leluhur sebagai sebuah sentral pemujaan yang juga menjadi milik masyarakat Austronesia dan pra Austronesia berjalan seperti biasanya. Untuk kearifan yang dilakukan masyarakat Nias bagian utara dalam menyikapi gempuran budaya yang datang dari selatan yaitu banyak terlihat dari prosesi yang berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti pendirian menhir, upacara faulu dan lainnya.
3.               Kearifan Dalam Aspek Hukum
Folklor asal usul masyarakat Nias merupakan salah satu sumber hukum seluruh masyarakatnya. Sehingga beberapa bagian dari folklor tersebut dijadikan patokan dalam prosesi yang sangat penting baik itu dalam kaitannya dengan aspek sosial maupun religi. Berbagai peraturan yang ada pada masyarakat tampaknya merupakan salah satu hukum yang tidak hanya mendapatkan sangsi sosial juga sangsi religi jika melanggarnya.

Dalam upaya melegalkan aspek-aspek tertentu (khususnya hukum adat) maka ada dua cara yang dilakukan masyarakat Nias yaitu melalui folklor itu sendiri dan juga melalui rangkaian upacara. Untuk itu juga disusunlah berbagai perangkat/lembaga yang dapat menjalankan seluruh fungsi ketetapan-ketetapan yang diturunkan yaitu dengan membuat sistem lembaga menjadi dua bagian yaitu, lembaga yang berkaitan dengan pemerintahan dan lembaga yang berkaitan dengan adat. Artinya aspek-aspek pemerintahan akan berbeda dengan aspek adat. Sehingga penyusunan aturannyapun akan berbeda, dimana sistem pemerintahan akan disusun di rumah raja (omo hada) sedangkan sistem dan pusat menjalankan adat disusun di Balai Adat.

Konsep hukum yang dimiliki masyarakat Nias merupakan konsep hukum yang sudah cukup lama diterapkan. Ada keinginan masyarakat Nias untuk hidup dengan teratur yang sesuai dengan norma dan nilai yang berkembang di masyarakat. Kearifan lain yang tampak pada masyarakat Nias dalam aspek hukum diantaranya dengan adanya prosesi fondrako yaitu pembaharuan aspek-aspek hukum. Konsep semacam ini merupakan kearifan yang sangat luar biasa adaptifnya. Konsep ini sangat mungkin muncul dari cara hidup masyarakatnya yang sangat adaptif dari sejak masa Mesolitik. Beberapa konsep strategi dalam kehidupan juga tampaknya berlangsung terus dengan bentuk lain (berkembang). Untuk aspek organisasi sosial yang dibedakan atas dua tersebut tampaknya keteraturan yang diinginkan melalui keberada hukum juga diikuti dengan adanya organisasi sosial sebagai sebuah lembaga sangat jelas fungsinya.

4.             Kearifan Dalam Teknologi dan Seni
Secara umum, alat musik yang dikenal masyarakat ada yang berbahan logam, kulit binatang, kayu, bambu, atau dapat juga campuran berbagai bahan tersebut. Dari segi ukuran ada yang berukuran besar hingga memiliki diameter lebih dari satu meter dan ada juga yang berukuran kecil. Berbagai alat musik tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral dan profan.

Fo’ere merupakan salah satu alat musik masyarakat Nias. Memiliki bentuk yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bidang atas, tengah dan bawah. Bidang atas lebih lebar dibandingkan dengan bidang bawah. Bidang atas tersebut digunakan sebagai bidang pukul, sedangkan tengah merupakan bidang yang sarat pahatan dengan berbagai pola hias termasuk pola hias kedok muka manusia. Adapun bidang bawah berbentuk memanjang dengan sedikit hiasan. Pola hias yang ada pada fo’ere jika dibandingkan dengan pola hias yang terdapat pada moko ataupun nekara maka ketiga benda budaya tersebut selain memiliki fungsi yang sama sebagai alat musik juga memiliki pola hias yang serupa. Sekalipun bahan yang digunakan pada ketiga benda budaya tersebut berbeda. Beberapa pola hias yang memiliki persamaan antara ketiga benda budaya tersebut di antaranya adalah penggunaan pahatan muka manusia yang merupakan ciri umum pahatan dari tradisi prasejarah/Megalitik. Selain itu juga ada pahatan bulu burung dan hiasan tumpal (segitiga berjajar). Pada bagian kaki dari moko atau nekara sering dipahatkan pola hias segitiga berjajar yang berlawanan, begitu juga dengan fo’ere yang ada di Nias juga memiliki hiasan yang sama pada kakinya. Bentuk fo’ere  yang memiliki persamaan dengan bentuk nekara produksi lokal, dan pola hias yang ada padanya merupakan sebagian dari ciri khas benda budaya Dong Son yang difungsikan sebagai alat musik.

Fo’ere digunakan sebagai alat musik pukul untuk mengiringi upacara yang berkaitan dengan religi lama. Fo’ere hanya digunakan oleh para ere (dukun), sehingga fo’ere memiliki tempat yang sangat sakral bagi masyarakat Nias (alat musik fo’ere sering disamakan dengan alat musik fondrahi). Alat musik ini dapat dimainkan secara solo (tanpa alat yang lainnya) atau dapat juga dimainkan bersamaan dengan gong atau alat musik yang lainnya (ansamble). Suara yang ditabuh ere pada fo’ere tersebut merupakan suara yang dipercaya dapat memberikan kekuatan, menunjukkan jalan atau mengarahkan kekuatan supranatural ere kepada tujuan tertentu.

Mengingat Budaya Nias tidak mengenal teknologi logam hingga masa sejarah maka benda budaya yang merupakan nekara/moko tersebut yang dalam budaya masyarakat itu dibuat dengan menggunakan bahan dari kayu. Berbagai pola hias yang ada padanya baik bentuk dan peletakannya juga sama, yaitu seperti pola hias yang terdapat dalam nekara ataupun moko yaitu pahatan kedok muka manusia, disusun pada bagian atas benda budaya tersebut. Keberadaan fo’ere yang berbahan kayu tersebut jelas menunjukkan kearifan masyarakat Nias dalam menyikapi ketiadaan bijih logam di wilayahnya. Kondisi ini juga mencerminkan betapa gigihnya masyarakat Nias dalam mempertahankan budayanya. Begitu juga dengan teknologi yang dimiliki pada aspek peleburan logam yang dibawa kelompok migrasi tersebut kemudian dimodifikasi dengan teknik yang berbeda sehingga berbagai ritus tetap masih dapat berlangsung.

Penutup
Dalam upaya keberlangsungan hidup, kelompok manusia masa Mesolitik mengembangkan pengetahuan dan memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya, baik dalam kaitannya dengan pemenuhan bahan pangan dan peralatan. Variasi bahan pangan dan peralatan yang dihasilkan menunjukkan adanya kreativitas yang tinggi yang dimiliki kelompok manusia masa itu. Didalam keberlangsungan hidupnya dipahami akan adanya siklus yang terjadi pada lingkungan, sehingga diperlukan strategi adaptasi agar kehidupan dapat terus berlangsung.

Pada masa selanjutnya (Neolitik), strategi  kehidupan tampak melalui penyiapan arsitektur yang tangguh dalam menyikapi kondisi alam yang kerap dilanda gempa. Strategi selanjutnya dalam menyikapi lingkungan baik alam dan manusianya dengan merubah cara hidup dari sebagai nelayan, petani dan pemburu, menjadi hanya sebagai petani dan pemburu. Adanya perubahan tersebut akan merubah berbagai pola makna yang ada pada masyarakat, untuk itu dalam upaya menyikapi berbagai perubahan tersebut maka, berbagai aspek seperti simbol-simbol dengan berbagai pola maknanya dibangun dan dioperasikan dalam kaitannya dengan religi. Hal itu dilakukan agar budaya materi dan juga konsep yang ada sebelum perubahan tetap terjaga. Dengan itu diharapkan masyarakat akan tetap stabil.

di Pulau Nias,  ketika adanya kontak antara kelompok manusia dari selatan dan utara juga diindikasikan terjadi pembauran budaya, namun beberapa aspek dari masing-masing budaya masih tetap terjaga. Konsep pembauran seperti itu tentu memerlukan pemahaman yang baik akan masing-masing kebudayaan kelompoknya. Bahwa norma dan nilai yang ada tidak berubah, sedangkan aspek lainnya masih dapat diterima sebagai sebuah budaya yang baru.

Selain itu masyarakat Nias pada umumnya memiliki kesadaran akan adanya perubahan-perubahan dalam kehidupan baik itu menyangkut lingkungan alam, norma dan nilai sehingga diperlukan seperangkat hukum yang juga adaktif. Konsep ini dimungkinkan berakar dari pemahaman strategi adaptasi yang dimiliki pada masa Mesolitik. Keberadaan hukum yang disertai dengan sangsi merupakan bentuk hukum yang cukup lengkap. Keberadaan organisasi sosial yang berfungsi dalam kaitannya dengan pemerintahan dan adat sangat menunjang keberlangsungan sebuah masyarakat yang teratur. Keberadan konsep tersebut dalam konteks pembabakan budaya Neolitik merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Kelebihan tersebut semakin mantap dengan adanya upaya untuk selalu memperbaharui hukum tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Nias sudah sejak lama tertata dalam hukum sehingga sudah sangat teratur hidupnya.

Kesadaran akan potensi lingkungan yang berbeda dengan harapannya tidak menyurutkan untuk tetap berkarya dan meneruskan budayanya, seperti halnya ketiadaan logam yang disikapi dengan bahan kayu pada fo’ere sebagai sarana prosesi religi merupakan aspek kearifan yang juga sangat penting untuk disebarluaskan.

Berbagai kearifan yang ada pada masyarakat Nias merupakan modal sosial yang sangat penting untuk ditanamkan pada seluruh masyarakat terutama pada generasi muda.  Kearifan yang diungkapkan tersebut di atas merupakan hasil dari adaptasi masyarakat Nias terhadap lingkungan, manusia dan kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa karakter dari masyarakat Nias adalah adaptif. Karakter yang adaptif tersebut juga merupakan bentuk jatidiri masyarakat Nias. beberapa kearifan tersebut sangat mungkin dapat disebarluaskan pada masyarakat umum (di luar masyarakat Nias) mengingat memiliki nilai-nilai yang bersifat universal.

Daftar Pustaka
Bellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Geertz, Clifford, 1995. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius
Danandjaja. James. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain.  Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hammerle, P. Johannes, 2004. Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Joedodibroto, Rijadi, 2008. “Mengenal Arsitektur Nias” dalam Nias Dari Masa Lalu Ke Masa Depan. Jakarta: BPPI, hal.184 -- 263
Koentjaraningrat.1997. Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta
Ritzeer, George dan Douglas J. Goodman, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Soeprapto, Riyadi, 2002. Interaksionisme Simbolik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiradnyana, Ketut. 2010. “Perubahan Makna Perahu Sebagai Simbol Pada Tradisi Megalitik di Nias Selatan (Kearifan Lokal Masyarakt Nias Selatan)” dalam Kearifan Lokal Dalam Arkeologi. Medan:74-95
Wiradnyana, Ketut. 2010. Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias, Paduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wiradnyana, Ketut. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara Kontribusinya pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wissema, Gustaaf Gerard, 1947. Young Tertiary and Quaternary Gastropoda from The Island of Nias, (malay Archipelago). Leiden: N.V.drukkeerij en Uitgevers-Mij y/h





Pembabakan masa dalam arkeologi yang didasarkan atas aspek teknologi peralatan batu yang sangat sederhana dan aspek ekonominya dikaitkan dengan aktivitas berburu dan mengumpulkan makanan yang masih sederhana.
 Pembabakan masa dalam arkeologi yang lebih maju dibandingkan masa Paleolitik.
Pembabakan masa dalam arkeologi yang didasarkan atas aspek teknologi peralatan batu yang telah diupam. Adapun bentuk peralatan batunya diantaranya adalah kapak lonjong dan kapak persegi. Pembabakan ini sering juga dikaitkan dengan kelompok pengusung budaya Austronesia dengan aspek budaya diantaranya adalah pertanian, pelayaran dan penggunaan gerabah. Di Indonesia perkembangan budaya ini bermula sekitar 3500 tahun yang lalu
Merupakan salah satu kebudayaan yang berkembang di masa Neolitik, aspek budaya yang menonjol adalah religi yang berkaitan dengan pemujaan terhadap leluhur termasuk didalamnya aspek Animisme/Dinamisme yang disertai pendirian monumen dalam kaitannya dengan religi dan sosial
 Salah satu kebudayaan yang berkembang pada masa perunggu-besi yang juga nama daerah di Vietnam bagian utara. Adapun salah satu ciri budaya ini adalah penggunaan bahan logam (perunggu) dengan berbgai bentuk dan pola hiasnya.
Salah satu teknik untuk mengetahui umur dari karbon yang terdapat pada biota ataupun sisa pembakaran, yang nantinya dijadikan dasar untuk pentarikhan budaya dimana sampel itu ditemukan.
Salah satu industri kapak batu yang awalnya banyak berkembang di Vietnam Utara. Dicirikan dengan penggunaan kerakal dengan pangkasan di seluruh sisinya dan sisi lainnya cenderung utuh. Alat batu ini memiliki tajaman bifasial atau monofasial melalui peretusan di seluruh sisi yang dipangakas tersebut.
 Hampir semua penulis buku tentang Nias membagi struktur masyarakat Nias menjadi 3 bagian yaitu, kelompok bangsawan, masyarakat biasa, dan budak.
Pesta adat pada pembangunan rumah tidak hanya berkaitan dengan aspek religi, tetapi juga aspek sosial lain, diantaranya aspek ekonomi yaitu sistem pajak yang diterapkan oleh penguasa bagi orang yang akan memanfaatkan lahannya untuk tempat tinggal diantaranya.
Teori fungsional yang dikemukakan oleh Emile Durkheim sesuai dengan aturan yang dijalankan oleh masyarakat yang tentunya telah mendapatkan legalitas atas aturan yang diberlakukan bahwa masing-masing kelompok memiliki fungsi dan juga hak tertentu yang mengikutinya.
Bentuk simbol yang dipahat seperti yang diuraikan itu dapat dilihat pada bangunan megalitik yang berbahan batu maupun kayu di Desa Bawomataluo, Nias Selatan.

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA TAK LUPA MENGUCAPKAN PUJI SYUKUR KEPADA ALLAH S,W,T
    dan terima kasih banyak kepada AKI atas nomor yang AKI
    beri 4 angka [0123] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus .
    dan alhamdulillah sekarang saya bisa melunasi semua utan2 saya yang
    ada sama tetangga.dan juga BANK BRI dan bukan hanya itu KI. insya
    allah saya akan coba untuk membuka usaha sendiri demi mencukupi
    kebutuhan keluarga saya sehari-hari itu semua berkat bantuan AKI..
    sekali lagi makasih banyak ya AKI? bagi saudara yang suka PASANG NOMOR
    yang ingin merubah nasib seperti saya silahkan hubungi KI JAYA,,di no (((085-321-606-847)))
    insya allah anda bisa seperti saya?menang NOMOR 450 JUTA ,

    PESUGIHAN DANA GAIB

    PESUGIHAN UANG BALIK

    DAN PESUGIHAN TUYUL













    BalasHapus