KEARIFAN LOKAL
PEMBENTUK
KARAKTER MASYARAKAT NIAS
Ketut Wiradnyana
Balai Arkeologi
Medan
Pendahuluan
Pulau
Nias merupakan salah satu pulau yang penduduknya memiliki proses pembentukan budaya yang sangat panjang. Berbagai
bentuk kebudayaan dengan unsur-unsurnya merupakan hasil dari proses budaya masa
prasejarah yang memberikan pengaruh bagi kebudayaan Nias. Adapun budaya masa prasejarah yang bukti-buktinya terekam dari hasil penelitian di antaranya
adalah budaya Paleolitik,
Mesolitik,
Neolitik(Megalitik) dan
budaya Dongson (perunggu). Masing masing budaya tersebut cenderung dibawa oleh kelompok
manusia dengan ras yang berbeda, tentu pembauran manusia dan budaya sangat
mungkin pernah berlangsung di wilayah ini. Sehingga bentuk budaya yang ada
merupakan hasil pembauran yang telah disepakati sebagai sebuah budaya yang
dapat diterima seluruh masyarakatnya.
Adanya
pembauran manusia dan budaya tentu juga telah ada pembauran tata nilai yang
dilandasai dengan kesepakatan bersama, sehingga nilai-nilai tersebut dapat
diterima oleh semua warga masyarakat dan berlaku lama. Kalau diamati budaya
materi masyarakat Nias sekarang ini maka cenderung lebih dominan akar budayanya
mencirikan masa Neolitik dengan budaya Megalitiknya. Berkembangnya budaya
Neolitik tersebut diindikasikan adanya migrasi terakhir yang membawa budaya itu
dengan aspek teknologi, mata pencaharian hidup dan religi yang lebih maju dan
kompleks dibandingkan dengan budaya sebelumnya. Folklor masyarakat juga
menggambarkan proses migrasi terakhir yang dilengkapi dengan informasi adanya religi,
struktur dalam masyarakat, organisasi sosial, penggunaan logam dan telah
dikenalnya padi (lihat Mendrofa,1981;
Wiradnyana, 2010:164189).
Dengan
panjangnya periode hegemoni manusia di wilayah Pulau Nias ini, maka berbagai nilai sosial tentu juga telah
berlangsung dari sejak adanya manusia pada masa prasejarah hingga masa
sekarang. Nilai-nilai yang disepakati dan masih sesuai dengan kondisi di masa
sekarang tersebut merupakan kearifan lokal. Kearifan tersebut merupakan salah
satu landasan bagi masyarakat dalam beraktivitas agar masyarakat menjadi lebih
teratur dalam kehidupannya. Keteraturan tersebut tidak hanya menyangkut
hubungan antarmanusia tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungan. Beberapa nilai-nilai
yang ada pada masyarakat masa prasejarah kiranya dapat berkaitan erat dengan nilai-nilai
masyarakat masa sekarang, oleh karena itu beberapa bagian dari kearifan masa
prasejarah dapat dijadikan landasan awal bagi pengenalan kearifan masa
selanjutnya.
Adapun
aspek-aspek kearifan yang dapat dicontoh diantaranya upaya
adaptasi terhadap lingkungan melalui
berbagai cara hidup dan pemanfaatan berbagai bahan baku dilingkungannya, serta
aspek arsitektur yang diperlukan dalam menyikapi lingkungan. Karakter
masyarakat yang adaptif tersebut itu sangat jelas terekam dalam budaya dimasa
selanjutanya yaitu dalam bentuk tradisi perubahan nilai-nilai yang tidak hanya
terkait dengan aspek lingkungan semata tetapi juga aspek sosial yaitu perubahan
sosial. Upaya penghormatan terhadap sesama melalui berbagai aspek simbol dan
upaya melengkapi aspek religi yang dianggap sesuai dengan konsep yang telah
ada. Hal tersebut menggambarkan bahwa kearifan lokal masyarakat Nias tidak
hanya dalam aspek budaya materi semata tetapi juga dalam tataran konsep.
Didalam proses pembentukan budaya Nias
hingga menjadi budaya seperti sekarang ini tentu juga membentuk karakter masyarakatnya.
Pembentukan karakter dari masa ke masa yang didasarkan atas berbagai nilai-nilai,
merupakan kearifan lokal. Keseluruhan proses tersebut dapat diketahui melalui
berbagai aktivitas masyarakatnya. Aktivitas masyarakat tentu mengalami banyak permasalahan,
sehingga dalam upaya keberlangsungan kehidupan masyarakatnya memunculkan
berbagai kearifan. Adapun permasalahan yang akan diuraikan berkaitan dengan hal
tersebut adalah bagaimana bentuk kearifan pada masa prasejarah hingga ke masa
kemudian ?. Upaya itu akan diawali dengan aspek
matapencaharian yang pada akhirnya berkaitan dengan unsur kebudayaan lainnya, dengan ruang
lingkup dari pembahasannya meliputi data arkeologis dari sejak masa Mesolitik,
Neolitik (Megalitik) hinga ke masa sekarang pada masyarakat Nias di Pulau Nias,
Provinsi Sumatera Utara. Diharapkan dari uraian aktivitas tersebut akan dapat diketahui bentuk kearifan
yang masih relefan hingga masa sekarang. adapun
metode yang digunakan dalam upaya menjadikan sebuah
informasi dari objek arkeologis dari berbagai
masa tersebut diawali dengan mendeskripsi objek arkeologis yang ditemukan untuk
kemudian diinterpretasikan baik dalam konteks nilai-nilai, lingkungan,
religi dan lainnya.
Kearifan lokal, dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap sesuai
dengan nilai-nilai yang disepakati bersama. Nilai-nilai pada masyarakat Nias juga
telah disepakati bersama antara kelompok warga bahkan antarmasyarakat di
lingkungan oraganisasi sosialnya. Oleh karena itu kearifan yang mengadung nilai-nilai
luhur tersebut merupakan perwujudan simbol di dalam masyarakat. Simbol
digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang
yang menggunakannya, orang-orang tersebut memberi arti, menciptakan dan
mengubah obyek tersebut di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat
terwujud dalam bentuk obyek fisik (benda-benda kasat mata), kata-kata (untuk
mewakili obyek fisik, perasaan, ide-ide dan nilai-nilai) serta tindakan (yang
dilakukan orang untuk memberi arti dalam komunikasi dengan orang lain)”.
(Charoon dalam Soeprapto 2002).
Lebih jauh Soeprapto (2002) mengutip teori fungsional bahwa setiap
kelompok dalam masyarakat akan melaksanakan tugas tertentu dan secara kontinyu,
karena ini merupakan cermin dari apa yang disebut sebagai fungsional tersebut.
Sebuah prilaku atau tindakan sosial akan bisa dibenarkan karena hal tersebut
dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. Suatu pola prilaku bisa muncul dan
sekaligus bisa hilang dan berubah sesuai dengan perkembangan sosial yang
terjadi dan sesuai dengan kebutuhan apa yang diinginkan dalam masyarakat
tertentu (Soeprapto 2002).
Sehubungan dengan uraian tersebut maka
perubahan/perkembangan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Nias disebabkan
oleh perubahan sosial yang telah berlangsung di masyarakat. Selain itu juga
perubahan lingkungan dan unsur-unsur kebudayaan sangat memegang peran penting
dalam berubahnya nilai-nilai sehingga kearifan yang telah dimiliki sangat
mungkin juga tidak sesuai dengan nilai-nilai pada masa selanjutnya. Kondisi tersebut membentuk karakter masyarakat Nias
dan sekaligus menjadi corak perilaku masyarakat secara umum.
Wilayah
dan Budaya Masyarakat Nias
Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang terdapat di pantai barat
Pulau Sumatera. Pulau ini masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi
Sumatera Utara. Suku bangsa Nias memiliki budaya khas yang berkaitan dengan
tradisi megalitik. Pola perkampungan yang cenderung berada pada areal
perbukitan yang didatarkan, secara umum terdiri dari dua baris rumah tempat
tinggal yang saling berhadapan. Berbagai tinggalan dari tradisi Megalitik yang
berbahan batu diletakkan di depan rumah adat, sebagai simbol status sosial
penghuninya. Simbol status sosial juga ditunjukkan dari besar kecilnya rumah
adat, atau tinggi rendahnya bangunan megalitik serta raya tidaknya pola hias
baik yang ada rumah adat ataupun bangunan megalitik. Di dalam rumah adat biasanya diletakkan
berbagai arca perwujudan leluhur, pahatan berbagai perhiasan ataupun alat-alat
musik yang dimiliki.
Wilayah budaya dari terminologi
budaya yang didasarkan pada teknologi mengindikasikan adanya sebaran-sebaran
budaya pada wilayah dan waktu tertentu. Sebaran budaya dalam satu wilayah
menggambarkan aktivitas yang berlangsung dengan ciri budaya yang sama atau
hampir sama. Secara umum wilayah budaya di Pulau Nias dapat dibagi menjadi dua
yaitu: wilayah budaya Nias bagian utara dan wilayah budaya Nias bagian selatan.
Sedangkan pembabakan budaya dapat membantu menggambarkan proses budaya yang
terjadi dalam wilayah itu sendiri. Pertanggalan
yang telah
dilakukan dan tinggalan budaya yang telah
dihasilkan pada situs-situs terpilih di Pulau Nias mengasumsikan proses
kehidupan manusia masa lalu di Pulau Nias dari masa Paleolitik yaitu sebelum 12.000 BP
hingga ke masa sekarang.
Keletakan Kabupaten Nias di daerah
Katulistiwa menyebabkan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Akibat
banyaknya curah hujan mengakibatkan kondisi alamnya sangat lembab dan
basah. Seringnya banjir bandang mengakibatkan
juga sering berpidahnya aliran sungai yang diakibatkan juga oleh struktur
batuan dan tanah yang labil.
Tanah
di Pulau Nias kurang subur namun masih mampu menghidupi berbagai anekaragam
hayati, yang merupakan tumbuhan domestik hasil budidaya masyarakat secara turun
temurun, di antaranya padi (Oryza sativa)
jagung (Zea mays), ketela rambat (Convolvulus batatas) yang dibudidayakan
di sawah atau ladang. Selain itu berbagai tanaman lainnya juga diusahakan.
Berbagai jenis hewan hidup di pulau ini, di antaranya jenis-jenis ikan (Pisces), baik dari laut, tambak maupun
kolam air tawar, babi (Sus sp.),
kerbau (Bovidae), dan kambing (Capra sp.). Di samping itu di wilayah
tertentu masih dapat dijumpai hewan-hewan liar di antaranya rusa (Cervidae), berbagai jenis burung (Aves), termasuk burung beo Nias dan babi
hutan (Sus sacrofa).
Geografis Nias yang berbukit-bukit
menyebabkan mata pencaharian penduduk terbagi atas dua yaitu penduduk yang
tinggal di pesisir pantai akan bergerak dalam bidang perikanan yaitu sebagai
nelayan dan penduduk yang berada di pedalaman akan mengusahakan pertanian dan
perladangan sebagai mata pencaharian. Penduduk yang di pesisir di samping
sebagai nelayan juga mereka mengusahakan perkembangbiakan ikan melalui tambak.
Penduduk yang bertani biasanya hanya menanam padi untuk kebutuhan keluarganya
saja (subsistensi) adapun
selain pertanian mereka juga bergerak dalam bidang perkebunan yaitu perkebunan
karet, nilam, cengkeh dan tanaman muda lainnya. Mata pencaharian yang lainnya
adalah beternak yaitu beternak babi dan ayam. Berburu pada saat sekarang sudah
sangat jarang dilakukan mengingat hutan di Nias sudah semakin habis begitu juga
dengan binatang buruan, seperti babi hutan, kancil, dan rusa sudah dapat
dikatakan langka di daerah ini.
Data
Arkeologis dan Etnografis
Di Pulau Nias, budaya
tertua yang didasarkan atas aspek morfologi dan teknologi kapak batu, diidentifikasi
sebagai kapak genggam dari pembabakan budaya Paleolitik. Mengingat
data masa Paleolitik masih sangat terbatas
dan belum dilakukan penelitian intensif yang disertai dengan carbon dating sehingga menyulitkan untuk mengetahui kapan masa Paleolitik di Pulau Nias
mulai berlangsung. Dari perbandingan
dengan morfologi dan teknologi kapak batu di Togi Ndrawa maka budaya Paleolitik
di Muzoi dipastikan lebih tua dari 12.000 BP.
Pada masa Mesolitik, keberadaan aktivitas manusia di pesisir
timur Pulau Sumatera sangat intensif berlangsung termasuk ke Pulau Nias. Gua Togi Ndrawa
dengan berbagai tinggalannya membuktikan bahwa kelompok pendukung budaya
Hoabinh pernah beraktivitas cukup intensif di wilayah ini
yaitu dari 12170 ± 400
BP hingga 850 ± 90 BP. Kelompok manusia yang pendukung budaya Hoabinh ini umumnya memiliki ras
Australomelanesoid. Mereka mengeksploitasi biota marin sebagai bahan pangan
utama. Berburu juga dilakukan pada areal di sekitar lokasi hunian.
Data masa Neolitik dalam kaitannya dengan keberadaan kapak lonjong
dan kapak persegi belum ditemukan di wilayah ini. Namun masih dalam babakan yang sama dimungkinkan telah ada migrasi yang membawa budaya Dong Son
dan juga Megalitik. Keberadaan migrasi yang terjadi di Pulau
Nias juga diindikasikan dari folklor yang berkembang di masyarakat bahwa nenek moyang yang datang di Pulau Nias
menggunakan perahu. Ini mengasumsikan bahwa migrasi pernah terjadi pada saat Pulau
Nias sudah berpisah dengan Pulau Sumatera yang berarti bahwa migrasi
berlangsung pada saat masyarakat sudah mengenal transportasi air. Hal tersebut
tentu terjadi setelah masa-masa Neolitik, yang masyarakatnya sudah memiliki budaya yang lebih
maju, bercocok tanam serta kemungkinan sudah mengenal religi yang lebih
kompleks.
Folklor asal-usul
masyarakat Nias yang menyebutkan bahwa leluhur pertama turun di Boronadu,
Sifalago Gomo untuk kemudian menyebar diantaranya ke Tundrumbaho dan wilayah di
Utara Nias diantaranya ke Hili Gowe. Folklor dimaksud sesuai dengan hasil
analisa karbon di Boronadu yang ditarikhan
576 ± 30 BP dan adanya keramik Anammese yang memiliki masa sekitar abad
ke- 14 – 16 M serta hasil carbon dating pada
situs Megalitik di Tundrumbaho, Gomo yang memiliki masa sekitar 340 ± 120 BP serta carbon
dating pada situs Megalitik Hili Gowe, Mandrehe berkisar 260 ± 120 BP.
Hasil analisa dimaksud menunjukkan adanya migrasi di pedalaman Pulau Nias (Boronadu) sekitar abad ke- 14.
Tata letak pemukiman masyarakat Nias Selatan adalah
linear atau garis lurus yang bertemu silang tegak lurus. Pola tersebut membentuk
ruang luar memanjang yang diapit deretan rumah-rumah adat dalam susunan yang
berderet rapat. Permukaannya selalu didirikan pada suatu lahan dengan profil
permukaan datar di suatu puncak bukit.
Pola tata letak tersebut membentuk lansekap seperti halnya pola pemukiman di wilayah
perairan sungai dengan alur lalu lintas
perahu di bagian tengahnya. Selain itu sistem bangunan dan perumahannya yang
berderet menampilkan langgam arsitektur yang menggambarkan suatu bentuk dari
perahu. Bentuk atap rumah adat Nias Selatan memiliki kemiripan dengan bentuk
layar kapal-kapal kuno dengan hiasan kepala naga (lasara) di bagian depannya (Joedodibroto 2008,197).
Masyarakat
Nias umumnya mengenal sistem struktur sosial yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, si’ ila, salawa) dan kelompok masyarakat
biasa (sato). Ada juga melihat struktur sosial masyarakat
atas tiga bagian yaitu kelompok bangsawan (si’ulu,
si’ila, salawa), kelompok masyarakat biasa (sato) dan kelompok budak (sawuyu,
harakana).
Masyarakat Nias dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya membagi
masyarakat atas empat bagian yaitu kelompok bangsawan (si’ulu, salawa), kelompok bangsawan, penasehat (si’ila), kelompok masyarakat biasa (sato) dan kelompok budak (sawuyu, harakana). Sedangkan dalam
kegiatan religi masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan masyarakat
yaitu: siulu (bangsawan), ere (pemuka agama), Ono
mbanua/sato (rakyat biasa) dan Sawuyu (budak).
Kelompok
kekerabatan yang terkecil yang disebut keluarga batih di Nias paling tidak ada
dua penyebutannya. Keluarga batih di Nias bagian Utara disebut fanganbaton sedangkan di Selatan disebut
gagambato. Dalam masyarakat Nias
kelompok yang terpenting adalah Sambun
mohelo atau sambua faono
(keluarga luas) yaitu keluarga batih senior beserta keluarga batih putera-puteranya
yang tinggal bersama di dalam satu rumah, dan merupakan satu kesatuan ekonomis.
Keluarga luas ini boleh berpisah jika keluarga anaknya dapat membangun sendiri
rumah yang tentunya dibarengi dengan pesta adat.
Kelompok kekerabatan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari beberapa
keluarga luas dari satu leluhur disebut Mado.
Seperti halnya marga pada masyarakat Batak, Mado
di Nias juga memiliki cabang-cabang.
Dalam
masyarakat Nias kelompok organisasi sosial yang terkecil disebut gana.
Kelompok organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa keluarga batih
dari satu marga atau dapat juga dari beberapa marga yang di dalam desa itu
tidak cukup banyak anggotanya dalam membentuk gana tersebut. Dalam kelompok gana
itu terdapat seorang pemimpin yang tugas fungsinya sangat jelas pada upacara
adat saja. Kumpulan dari pada beberapa
gana disebut nafolu. Seperti
halnya gana, nafolu juga dipimpin oleh seseorang yang tugas fungsinya sangat
jelas hanya pada upacara adat saja. Kumpulan dari beberapa nafolu disebut banua,
yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya disebut salawa (di utara) dan siulu (di Selatan). Selain pejabat
tersebut di desa juga ada pejabat lain yang di sebut si’ ila yang diangkat oleh rakyat dan tidak didapatkan secara turun
temurun. Si’ ila ini dalam sebuah
kampung jumlahnya bisa banyak dan pemimpin si’
ila disebut balo si’ ila. Di Selatan
pemimpin banua yang disebut siulu memiliki pemimpin lagi yang
disebut balo siulu. Sedangkan
kumpulan dari beberapa banua disebut öri (negeri) yang dipimpin oleh tuhenöri (Wiradnyana 2010, 162).
Kepercayaan
masyarakat Nias tradisional meyakini bahwa kematian tidak merubah status sosial
pada waktu si mati masih hidup. Artinya kalau si mati itu memiliki kedudukan
tinggi dalam masyarakat seperti golongan si’ulu
maka di alam sana dianggap masih berkedudukan sebagai si’ulu atau sebaliknya jika yang meninggal itu adalah masyarakat
biasa (sawuyu) maka di alam sana si
mati tidak akan berubah statusnya. Kematian dianggap sebagai salah satu proses
untuk menuju dan hidup di alam lain, sehingga segala prosesi kematian yang
dilakukan di alam nyata ketika masih hidup akan mempengaruhi juga kehidupan di
alam lain.
Dengan
keyakinan seperti itu maka prosesi kematian bagi seseorang juga akan sangat
penting, terlebih bagi kelompok bangsawan. Kelompok bangsawan akan tidak mau
menurunkan/diturunkan statusnya (bila perlu dinaikkan lagi), sehingga berbagai
prosesi kematian dibuat lebih megah dan dianggap mampu memberikan kehidupan
yang lebih baik dari aspek ekonomi dan juga sosial dan religi di alam sana bagi
si mati. Berbagai prosesi yang berkaitan dengan aspek ekonomi dan yang
berakibat positip bagi kehidupan di alam lain diantaranya melalui kurban babi
dan bekal kuburnya. Sedangkan aspek sosial dalam prosesi kematian yang
berakibat terhadap kehidupan di alam lain yaitu, perlakuan terhadap si mati
dengan memberikan wadah kubur dan juga prosesi penguburan skunder. Untuk aspek
religi yaitu, akan didapatkan dari prosesi yang telah dilakukan selama masih
hidup dan juga pada waktu tokoh itu mati dengan berbagai kurban dan sarana maka
dianggap sebagai bekal yang cukup bagi si mati untuk berada di lapisan langit
tertentu. Ketiga aspek tersebut sejalan dengan uraian Malinowski bahwa
kebudayaan itu harus dapat memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis (Syam
2006, 31).
Mengingat
hal tersebut maka bagi golongan bangsawan akan melakukan prosesi kematian
dengan sebaik-baiknya dan semegah-megahnya sehingga si mati statusnya tidak
berubah bahkan kalau dimungkinkan lebih meningkat lagi. Hal ini sebagai upaya
untuk meningkatkan status sosial dan menempatkan roh si mati berada pada lapisan langit yang paling tinggi
melebihi status sosial ketika si mati masih hidup. Salah satu upaya dimaksud
yaitu, dengan menempatkan jasad si mati ke dalam wadah kubur yang berbentuk
perahu. Bagi masyarakat biasa hal itu tidak dapat dilakukan karena prosesi
dimaksud memerlukan kurban babi yang cukup banyak selain
menyiapkan berbagai keperluan/bahan wadah kubur. Selain itu aturan adat yang
mengaturnya, diantaranya berbagai prosesi disesuaikan dengan status sosial si
mati di masyarakat kecuali mendapatkan persetujuan dari bangsawan tertinggi (balo si’ulu) di kampungnya.
Strategi
Adaptasi Masa Mesolitik
1.
Strategi
Pemenuhan Bahan Makanan
Hasil
penelitian di Gua Togi Ndrawa mengidentifikasi moluska dari kelas Pelecypoda dan Gastropoda
yang merupakan bahan makanan. Bahan makanan yang dikonsumsi dalam upaya
melangsungkan hidupnya dipilih bahan makanan yang melimpah di sekitar situs
yang tentunya mudah didapat. Berbagai jenis moluska dimungkinkan hidup di
sekitar situs, mengingat keletakan situs yang dekat dengan laut dan muara
sungai sehingga menghasilkan lingkungan manggrove
yang ideal bagi habitat berbagai jenis moluska (lihat Wissema 1947). Dalam
strategi adaptasi dengan lingkungan manusia penghuni Gua Togi Ndrawa tidak
hanya memanfaatkan moluska yang hidup di air payau saja akan tetapi juga
moluska yang hidup di air tawar/darat dan laut namun intensitasnya sangat
sedikit. Adanya variasi moluska dari berbagai habitat mengasumsikan bahwa
mereka telah mengenal sumber makanan di lingkungannya dan sekaligus menjalankan
strategi adaptasi akan pemanfaatan bahan makanan di lingkungannya.
Dalam
pola pengkonsumsian moluska menunjukkan bahwa moluska yang hidup dan
berkembang pada musimnya menjadi bahan makanan yang utama. Hal tersebut
tampak dari lapisan moluska pada kotak ekskavasi, yang memiliki
kecenderungan
bahwa pada masing-masing
lapisan moluska selalu didominasi oleh salah satu jenis moluska. Begitu
juga kuantitas moluska yang tampak pada satu lapisan budaya menunjukkan
adanya variasi moluska tertentu yang dominan, sedangkan pada lapisan
di bawahnya jenis moluska lain yang dominan. Ekskavasi di Gua Togi
Ndrawa memperlihatkan
moluska Telecopium telescopium dan Neritidae selalu
dominan dibandingkan dengan moluska yang lain. Kalau Neritidae
tidak dominan maka Thiaridae atau Arcticidae yang dominan. Adanya
kelompok moluska yang dominan pada setiap lapisan tertentu menunjukkan
bahwa jenis moluska tertentu tidak selalu tersedia pada lingkungannya
(keberadaannya berkala), sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan mereka
memanfaatkan moluska dari jenis yang lain. Pemanfaatan jenis moluska yang lain
dapat saja dari lingkungan sejenis (mangrove)
atau dapat juga dari lingkungan lainnya yaitu pantai dan darat.
Strategi
adaptasi dalam pemenuhan bahan makanan juga dilakukan dengan
perburuan di sekitar situs. Hal tersebut tampak pada berbagai jenis tulang
binatang yang ditemukan dari penggalian seperti Suidae (babi), Boaidae (ular), Vanaridae (biawak) dan Testudinidae (bulus, kura-kura), Chanidae (ikan), Scilla serrata (kepiting) yang
diindikasikan sebagai hewan yang dikonsumsi selain moluska. Adanya variasi pada
ekofak (moluska dan tulang binatang) di Gua Togi Ndrawa tidak terlepas dari
terbatasnya bahan makanan yang dihasilkan lingkungannya yang diantaranya
diakibatkan
oleh kondisi alam (musim).
Pengambilan/pengumpulan kerang dilakukan juga dengan mempertimbangkan
kondisi pasang surut air mengingat pada saat pasang surut (bulan mati)
keberadaan kerang dari famili Arcticidae
akan mudah didapatkan karena famili
tersebut pada umumnya hidup di pasir pantai yang dangkal. Sebaliknya pada bulan
purnama tentunya pengkonsumsian moluska dari famili yang lainnya seperti Thiaridae yang cenderung dikumpulkan. Thiaridae pada saat pasang
naik akan lebih mudah didapatkan pada tumbuhan bakau, karena hewan ini akan
naik ke batang-batang pohon menghindari terendam air pasang. Kemampuan
membuat keputusan-keputusan dalam upaya memenuhi kebutuhan akan makanan dengan
memodifikasi jenis makanan yang selama ini menjadi makanan utamanya melalui
berbagai kondisi yang dihadapi tentunya merupakan bagian dari strategi
adaptasinya. Strategi adaptasi yang dilakukan kelompok manusia
masa itu jelas memberikan pembelajaran akan upaya untuk mengekploitasi
lingkungan dengan pengetahuan yang seimbang terhadap kondisi alam. Bahwa
kehidupan itu hendakanya disikapi dengan menyiapkan seperangkat strategi dalam
memahami kondisi alam sehingga kehidupan berlangsung terus seperti yang
diharapkan. Bahwa ada kesadaran yang muncul berkaitan dengan terbatasnya salah
satu jenis bahan pangan sehingga diperlukan upaya-upaya lain untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Pemahaman tersebut menjadikan adanya pengetahuan mengenai
siklus ketersediaan bahan pangan dan sekaligus menguatkan penyadaran adanya
siklus dalam kehidupan.
2.
Strategi Pemenuhan
Peralatan Hidup
Peralatan
hidup sehari-hari yang dapat dikumpulkan dari Gua Togi Ndrawa diantaranya dapat
dibedakan atas dua: peralatan berbahan anorganik dan berbahan organik.
Peralatan berbahan anorganik teridentikasi sebagai batu dan peralatan berbahan
organik diantaranya tulang, tanduk dan cangkang moluska.
Peralatan
berbahan batu pada umumnya berbahan batuan karts dan sebagian kecil andesit
dengan karakteristik peralatan berupa alat serpih, pipisan, pemukul dan kapak
genggam. Alat serpih merupakan peralatan yang paling banyak ditemukan pada
situs Togi Ndrawa. Sedangkan peralatan berbahan tulang dan tanduk sangat
sedikit ditemukan dan teridentifikasi sebagai lancipan dan sudip. Untuk
peralatan berbahan cangkang kerang memanfaatkan cangkang Articidae
dengan melalui peretusan kasar dan halus, selain itu ditemukan juga peralatan dari cangkang Tridacnidae.
Dengan
melimpahnya bahan makanan terutama
moluska maka peralatan yang diperlukan bagi kelangsungan hidup tentunya
disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk mengolah bahan makanan berupa moluska
tentunya tidak banyak memerlukan peralatan-peralatan yang masif. Sehingga bahan
peralatan hidup dicari dari sekitar hunian. Didalam perjalanan hidupnya,
berbagai pengalaman yang dihadapi tentu menghasilkan pengetahuan praktis untuk
memanfaatkan bahan peralatan hidup sehari-hari. Mereka memanfaatkan bahan
peralatan yang telah tersedia di sekitarnya. Bahan peralatan tersebut pada
umumnya dari batuan karts yang melimpah di sekitar gua. Bahan batuan lain juga
ditemukan namun tidak banyak jumlahnya. Dengan adanya berbagai bahan batuan
tersebut jelas mereka memiliki pengetahuan akan karakter batuan yang sesuai
dengan peralatan yang diperlukan untuk memenuhi fungsinya. Pemilihan batuan
karts tentunya melalui keputusan yang sekaligus merupakan strategi adaptasi
manusia pendukungnya. Pengetahuan akan karakter batuan merupakan pengetahuan
yang didapatkan dari kehidupan sehari-hari. Keberadaan peralatan dengan berbagai
karakter yang dihasilkan dari sampah makanan menunjukkan daya kreatifitas yang
tinggi kelompok manusia masa itu. Perkembangan pengetahuan kelompok manusia
masa itu tampaknya dimulai dari pemahaman akan lingkungannya dan keinginan yang
kuat untuk memudahkan kehidupannya.
Kearifan
Masa Neolitik dan Masa Setelahnya
Dalam
salah satu folklor lisan asal usul leluhur masyarakat Nias disebutkan bahwa
pada awalnya ada sekelompok manusia yang terdampar di Muara Susua, kemudian
kelompok manusia tersebut menyusuri sungai itu ke arah hulu dan bertempat
tinggalah mereka di Boronadu, Gomo. Sebelum tinggal di Hulu sungai tersebut
dimungkinkan kelompok manusia itu pernah menetap di pesisir dalam beberapa
kurun waktu. Pada waktu menetap di pesisir pantai, kemungkinan telah dilakukan
upaya pertanian, namun upaya tersebut kemungkinan tidak berhasil.
Ketidakberhasilan itu berkaitan dengan kondisi pesisir yang cenderung terjal
dan berkarang, selain tidak cukup lahan untuk bercocok tanam serta lapisan
humus yang tipis. Kondisi alam yang sering hujan sehingga kerap terjadi banjir
bandang dan perubahan alur sungai merupakan kondisi alam yang juga menghambat
keberhasilan pertanian. Selain itu adanya penghuni yang lebih awal bertempat
tinggal di Pulau Nias, sehingga kepindahan merupakan upaya untuk menghindari
konflik. Oleh karena itu maka imigran terakhir di Nias Selatan
berpindah ke arah hulu sungai Susua yaitu memilih bertempat tinggal di
pedalaman.
Dengan
berpindahnya kelompok orang ke hulu sungai, tentu cara hidup sebagai nelayan
ditinggalkan dan difokuskan pada cara hidup dengan berburu dan bertani.
Perubahan cara hidup menjadi petani dan pemburu dimungkinkan karena mereka juga
adalah petani dan pemburu serta telah membawa berbagai bibit pertanian dalam
perjalanan dari daerah asal. Perpindahan
lokasi hunian menjadikan ketergantungan pada mata pencaharian hidup sebagai
pemburu dan petani/peladang.
Bagi
kelompok masyarakat tradisional, setiap ada perubahan sosial yang mendasar merupakan tahapan dalam kehidupan yang memerlukan
prosesi religi. Maka di dalam perubahan unsur mata pencaharian hidup juga dilakukan prosesi upacara yang diantaranya di ikuti dengan pembuatan symbol-simbol.
Perubahan mata pencaharian hidup dari sebagai pemburu, nelayan dan petani
menjadi pemburu dan petani/peladang memunculkan symbol-simbol nelayan di dalam
berbagai benda budaya masyarakat. Simbol dimaksud dapat berupa bentuk fisik
ataupun tata nilai dan digunakan
sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh masyarakat yang
menggunakannya. Masyarakat itu memberi arti, menciptakan dan mengubah obyek
tersebut didalam interaksi. Adapun bentuk-bentuk unsur budaya yang berubah dan
disimbolkan diantaranya adalah bentuk perahu, aktivitas memancing dan juga
penyelaman di laut serta bentuk ikan.
Bentuk lainnya yaitu dibuat dalam kaitannya dengan berbagai aspek yang
menyangkut perairan seperti pola perkampungan dan juga binatang mitos (lasara). Bentuk-bentuk simbol dimaksud
merupakan hasil dari kesepakatan seluruh masyarakat karena simbol merupakan
hasil dari interaksi masyarakat bahwa mereka mengenal unsur kehidupan dimaksud
sebagai unsur kebudayaan yang saling terkait antar unsur kebudayaan lainnya
(Geertz 1995,33).
Mata
pencaharian hidup merupakan salah satu unsur kebudayaan yang ada pada setiap
kebudayaan kelompok masyarakat. Mata pencaharian hidup sebagai nelayan
merupakan satu keterampilan yang tidak semua orang mampu untuk melaksanakannya.
Dengan demikian mata pencaharian sebagai nelayan merupakan suatu keterampilan
yang memiliki nilai sosial tinggi di masyarakat atau paling tidak memiliki
nilai sosial yang setara dengan mata pencaharian sebagai petani. Tukang besi
pada masa perundagian memiliki status yang berbeda dengan masyarakat biasa.
Artinya ada status khusus (lebih tinggi) dibandingkan masyarakat biasa. Kondisi
ini mengindikasikan bahwa sebagai nelayan merupakan status khusus dalam
masyarakat Nias bagian selatan, sehingga mata pencaharian hidup sebagai nelayan
dianggap memiliki keterampilan yang lebih selain sebagai pemburu. Orang yang
memiliki ketarampilan sebagai nelayan dan juga sekaligus sebagai petani tentu
memiliki status yang tinggi dimasyarakat dibandingkan sebagai pemburu atau
hanya memiliki satu keterampilan dalam mata pencaharian hidup. Sehingga
penggambaran akan aspek-aspek yang berkaitan dengan nelayan pada masyarakat
petani itu memberikan nilai lebih di masyarakat.
Secara
umum hal tersebut menguraikan adanya pola makna yang telah berlangsung sebelum
masyarakat berpindah dari pesisir ke pegunungan. Pola makna tersebut tetap
doioperasionalkan dalam masyarakat sekalipun lingkungan tempat tinggal dan mata
pencaharian hidup telah berubah. Upaya mempertahankan pola makna dimaksud
merupakan bentuk kearifan masyarakat dalam upaya
mempertahankan kebudayaan yang ada. Tersirat bahwa ada kearifan yang
ditunjukkan bahwa nilai-nilai yang telah ada untuk tetap dilestarikan sekalipun
kondisi masyarakat telah berubah
1.
Kearifan Dalam
Arsitektur
Kondisi
geografis Pulau Nias yang berada pada jalur patahan, sehingga menjadikan areal
ini sering mendapatkan gempa. Tampaknya kondisi pulau seperti itu disikapi
dengan pembuatan arsitektur yang khas yang kiranya mampu memberikan ketahanan
jika terjadi gempa. Selain itu juga arsitektur di Pulau Nias menggambarkan
aspek sosial dan religi masyarakatnya. Sehingga arsitektur rumah tinggal pada
masyarakat Nias merupakan penggambaran aspek lingkungan, manusia dan religinya.
Adapun aspek yang mencirikan akan adanya kearifan dalam menyikapi gempa
diantaranya adalah keberadaan tiang–tiang penyangga
yang disusun untuk menopang beban yang berat dicerminkan lewat ukuran tiang
yang cukup besar dan lewat persilangan-persilangan balok-balok yang dirancang
vertikal, horisontal dan diagonal. Arsitektur dengan tiang penyangga seperti itu kiranya memberi arti
positif bagi perkembangan arsitektur moderen dan juga dalam upaya mendapatkan
pondasi rumah yang kokoh. Keberadaan rumah di Nias bagian selatan yang
cenderung tingggi dan besar dibuat berhimpitan seperti sebuah gerbong kereta
juga merupakan upaya untuk mendapatkan kekuatan yang lebih dalam menghadapi
goncangan. Selain itu rumah juga merupakan simbol yang menggambarkan
adanya struktur dalam masyarakat dan
juga dalam kosmologi. Sehingga rumah adat dalam masyarakat Nias juga
berstruktur yang terkait dengan struktur sosial di masyarakat. Mengingat rumah
adat itu juga menyimbolkan aspek religi (kosmologi) maka fungsi rumah juga
digunakan dalam prosesi religi.
Migrasi yang berlangsung pada babakan
budaya Neolitik di Nias bagian selatan dan pada masa itu di Nias bagian utara
telah ada kelompok manusia yang memiliki budaya yang berbeda dengan yang datang
di Nias bagian selatan, maka arsitekturnyapun menjadikan kedua wilayah budaya
ini berbeda. Namun beberapa aspek yanga ada, seperti kesamaan pada pemanfaatan
tiang-tiang penyangga yang besar diindikasikan sebagai bentuk percampuran
konstruksi dan adanya struktur pemanfaatan ruang yang berkaitan struktur sosial.
2.
Kearifan Dalam
Religi
Folklor asal usul masyarakat Nias
juga menggambarkan adanya migrasi dari Nias bagian selatan ke Nias bagian
utara. Hal itu juga menggambarkan adanya pengaruh yang kuat budaya dari Nias
bagian selatan ke Nias bagian utara. Kondisi ini juga dibuktikan dari informasi
sebagian besar masyarakat di Nias bagian
utara yang kerap menyebut asal-usulnya dari Gomo. Adanya migrasi tersebut juga
diikuti dengan aspek religi. Namun konsep religi yang muncul antara Nias bagian
selatan dengan Nias bagian utara berbeda, seperti penempatan adu zatua di Nias bagian selatan yaitu
di dalam rumah sedangkan pemujaan leluhur bagi sebagian masyarakat Nias bagian utara
yaitu di luar rumah. Perbedaan itu merupakan upaya dalam mempertahankan prosesi
yang dilakukan, namun konsep dasar seperti halnya pemujaan terhadap
leluhur/orang tua masih tetap sama. Atau dapat dikatakan adanya variasi dalam
pemujaan leluhur dalam religi lama.
Folklor (hoho) tentang alam sebagai
bentuk budaya lisan masyarakat Nias (Selatan)
menyebutkan
bahwa, alam ini terbagi atas 9 (sembilan) lapisan. Masyarakat Nias bagian selatan mengimplementasikannya dalam bentuk susunan atap rumah
adat (omo hada) yang ditemukan hanya
pada rumah adat bangsawan tertinggi dan telah melakukan seluruh tahapan prosesi
upacara owasa/faulu (upacara
meningkatkan status sosial). Hal itu
memberi pengertian bahwa wujud budaya hasil karya manusia adalah merupakan
simbol dari alam lain, atau konsep-konsep yang ada dalam alam lain diwujudkan
kedalam bentuk nyata berupa simbol-simbol dalam alam nyata. Pada masyarakat Nias bagian utara lapisan langit itu dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu lapisan atas untuk roh suci, lapisan tengah untuk
manusia dan lapisan bawah untuk binatang. Adanya perbedaan konsep tersebut
jelas menunjukkan adanya kekuatan masyarakat Nias bagian utara dalam memegang
konsep kosmologi dalam religi yang berbeda dengan masyarakt Nias bagian selatan.
Namun aspek leluhur sebagai sebuah sentral pemujaan yang juga menjadi milik
masyarakat Austronesia dan pra Austronesia berjalan seperti biasanya. Untuk
kearifan yang dilakukan masyarakat Nias bagian utara dalam menyikapi gempuran
budaya yang datang dari selatan yaitu banyak terlihat dari prosesi yang
berkaitan dengan kehidupan sosial, seperti pendirian menhir, upacara faulu dan lainnya.
3.
Kearifan Dalam
Aspek Hukum
Folklor
asal usul masyarakat Nias merupakan salah satu sumber hukum seluruh
masyarakatnya. Sehingga beberapa bagian dari folklor tersebut dijadikan patokan
dalam prosesi yang sangat penting baik itu dalam kaitannya dengan aspek sosial
maupun religi. Berbagai peraturan yang ada pada masyarakat tampaknya merupakan
salah satu hukum yang tidak hanya mendapatkan sangsi sosial juga sangsi religi
jika melanggarnya.
Dalam upaya melegalkan aspek-aspek tertentu (khususnya
hukum adat) maka ada dua cara yang dilakukan masyarakat Nias yaitu melalui
folklor itu sendiri dan juga melalui rangkaian upacara. Untuk itu juga
disusunlah berbagai perangkat/lembaga yang dapat menjalankan seluruh fungsi
ketetapan-ketetapan yang diturunkan yaitu dengan membuat sistem lembaga menjadi
dua bagian yaitu, lembaga yang berkaitan dengan pemerintahan dan lembaga yang
berkaitan dengan adat. Artinya aspek-aspek pemerintahan akan berbeda dengan
aspek adat. Sehingga penyusunan aturannyapun akan berbeda, dimana sistem
pemerintahan akan disusun di rumah raja (omo
hada) sedangkan sistem dan pusat menjalankan adat disusun di Balai Adat.
Konsep
hukum yang dimiliki masyarakat Nias merupakan konsep hukum yang sudah cukup
lama diterapkan. Ada keinginan masyarakat Nias untuk
hidup dengan teratur yang sesuai dengan norma dan nilai yang berkembang di masyarakat.
Kearifan lain yang tampak pada masyarakat Nias dalam aspek hukum diantaranya
dengan adanya prosesi fondrako yaitu
pembaharuan aspek-aspek hukum. Konsep semacam ini merupakan
kearifan yang sangat luar biasa adaptifnya. Konsep ini sangat mungkin muncul
dari cara hidup masyarakatnya yang sangat adaptif dari sejak masa Mesolitik.
Beberapa konsep strategi dalam kehidupan juga tampaknya berlangsung terus
dengan bentuk lain (berkembang). Untuk aspek organisasi
sosial yang dibedakan atas dua tersebut tampaknya keteraturan yang diinginkan
melalui keberada hukum juga diikuti dengan adanya organisasi sosial sebagai
sebuah lembaga sangat jelas fungsinya.
4.
Kearifan Dalam Teknologi
dan Seni
Secara
umum, alat musik yang dikenal masyarakat ada yang berbahan logam, kulit
binatang, kayu, bambu, atau dapat juga campuran berbagai bahan tersebut. Dari
segi ukuran ada yang berukuran besar hingga memiliki diameter lebih dari satu
meter dan ada juga yang berukuran kecil. Berbagai alat musik tersebut digunakan
untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sakral dan profan.
Fo’ere merupakan salah
satu alat musik masyarakat Nias. Memiliki bentuk yang dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu bidang atas, tengah dan bawah. Bidang atas lebih lebar
dibandingkan dengan bidang bawah. Bidang atas tersebut digunakan sebagai bidang
pukul, sedangkan tengah merupakan bidang yang sarat pahatan dengan berbagai
pola hias termasuk pola hias kedok muka manusia. Adapun bidang bawah berbentuk
memanjang dengan sedikit hiasan. Pola hias yang ada pada fo’ere jika
dibandingkan dengan pola hias yang terdapat pada moko ataupun nekara maka
ketiga benda budaya tersebut selain memiliki fungsi yang sama sebagai alat
musik juga memiliki pola hias yang serupa. Sekalipun bahan yang digunakan pada
ketiga benda budaya tersebut berbeda. Beberapa pola hias yang memiliki
persamaan antara ketiga benda budaya tersebut di antaranya adalah penggunaan
pahatan muka manusia yang merupakan ciri umum pahatan dari tradisi
prasejarah/Megalitik. Selain itu juga ada pahatan bulu burung dan hiasan tumpal
(segitiga berjajar). Pada bagian kaki dari moko atau nekara sering dipahatkan
pola hias segitiga berjajar yang berlawanan, begitu juga dengan fo’ere
yang ada di Nias juga memiliki hiasan yang sama pada kakinya. Bentuk fo’ere yang memiliki persamaan dengan bentuk nekara
produksi lokal, dan pola hias yang ada padanya merupakan sebagian dari ciri
khas benda budaya Dong Son yang difungsikan sebagai alat musik.
Fo’ere digunakan
sebagai alat musik pukul untuk mengiringi upacara yang berkaitan dengan religi
lama. Fo’ere hanya digunakan oleh para ere (dukun), sehingga fo’ere
memiliki tempat yang sangat sakral bagi masyarakat Nias (alat musik fo’ere
sering disamakan dengan alat musik fondrahi). Alat musik ini dapat
dimainkan secara solo (tanpa alat yang lainnya) atau dapat juga
dimainkan bersamaan dengan gong atau alat musik yang lainnya (ansamble).
Suara yang ditabuh ere pada fo’ere tersebut merupakan suara yang dipercaya
dapat memberikan kekuatan, menunjukkan jalan atau mengarahkan kekuatan
supranatural ere kepada tujuan tertentu.
Mengingat
Budaya Nias tidak mengenal teknologi logam hingga masa sejarah maka benda
budaya yang merupakan nekara/moko tersebut yang dalam budaya masyarakat itu
dibuat dengan menggunakan bahan dari kayu. Berbagai pola hias yang ada padanya baik
bentuk dan peletakannya juga sama, yaitu seperti pola hias yang terdapat dalam
nekara ataupun moko yaitu pahatan kedok muka manusia, disusun pada bagian atas
benda budaya tersebut. Keberadaan fo’ere
yang berbahan kayu tersebut jelas menunjukkan kearifan masyarakat Nias dalam
menyikapi ketiadaan bijih logam di wilayahnya. Kondisi ini juga mencerminkan
betapa gigihnya masyarakat Nias dalam mempertahankan budayanya. Begitu juga
dengan teknologi yang dimiliki pada aspek peleburan logam yang dibawa kelompok
migrasi tersebut kemudian dimodifikasi dengan teknik yang berbeda sehingga
berbagai ritus tetap masih dapat berlangsung.
Penutup
Dalam
upaya keberlangsungan hidup, kelompok manusia masa Mesolitik mengembangkan
pengetahuan dan memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya, baik dalam kaitannya dengan
pemenuhan bahan pangan dan peralatan. Variasi bahan pangan dan peralatan yang
dihasilkan menunjukkan adanya kreativitas yang tinggi yang dimiliki kelompok
manusia masa itu. Didalam keberlangsungan hidupnya dipahami akan adanya siklus
yang terjadi pada lingkungan, sehingga diperlukan strategi adaptasi agar
kehidupan dapat terus berlangsung.
Pada
masa selanjutnya (Neolitik), strategi kehidupan
tampak melalui penyiapan arsitektur yang tangguh dalam menyikapi kondisi alam
yang kerap dilanda gempa. Strategi selanjutnya dalam menyikapi lingkungan baik
alam dan manusianya dengan merubah cara hidup dari sebagai nelayan, petani dan
pemburu, menjadi hanya sebagai petani dan pemburu. Adanya perubahan tersebut
akan merubah berbagai pola makna yang ada pada masyarakat, untuk itu dalam upaya
menyikapi berbagai perubahan tersebut maka, berbagai aspek seperti
simbol-simbol dengan berbagai pola maknanya dibangun dan dioperasikan dalam
kaitannya dengan religi. Hal itu dilakukan agar budaya materi dan juga konsep yang
ada sebelum perubahan tetap terjaga. Dengan itu diharapkan masyarakat akan
tetap stabil.
di
Pulau Nias, ketika adanya kontak antara
kelompok manusia dari selatan dan utara juga diindikasikan terjadi pembauran
budaya, namun beberapa aspek dari masing-masing budaya masih tetap terjaga.
Konsep pembauran seperti itu tentu memerlukan pemahaman yang baik akan
masing-masing kebudayaan kelompoknya. Bahwa norma dan nilai yang ada tidak
berubah, sedangkan aspek lainnya masih dapat diterima sebagai sebuah budaya
yang baru.
Selain
itu masyarakat Nias pada umumnya memiliki kesadaran akan adanya
perubahan-perubahan dalam kehidupan baik itu menyangkut lingkungan alam, norma
dan nilai sehingga diperlukan seperangkat hukum yang juga adaktif. Konsep ini
dimungkinkan berakar dari pemahaman strategi adaptasi yang dimiliki pada masa Mesolitik.
Keberadaan hukum yang disertai dengan sangsi merupakan bentuk hukum yang cukup
lengkap. Keberadaan organisasi sosial yang berfungsi dalam kaitannya dengan
pemerintahan dan adat sangat menunjang keberlangsungan sebuah masyarakat yang
teratur. Keberadan konsep tersebut dalam konteks pembabakan budaya Neolitik
merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Kelebihan
tersebut semakin mantap dengan adanya upaya untuk selalu memperbaharui hukum
tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat Nias sudah sejak lama
tertata dalam hukum sehingga sudah sangat teratur hidupnya.
Kesadaran
akan potensi lingkungan yang berbeda dengan harapannya tidak menyurutkan untuk
tetap berkarya dan meneruskan budayanya, seperti halnya ketiadaan logam yang
disikapi dengan bahan kayu pada fo’ere
sebagai sarana prosesi religi merupakan aspek kearifan yang juga sangat penting
untuk disebarluaskan.
Berbagai
kearifan yang ada pada masyarakat Nias merupakan modal sosial yang sangat
penting untuk ditanamkan pada seluruh masyarakat terutama pada generasi muda. Kearifan yang diungkapkan tersebut di atas
merupakan hasil dari adaptasi masyarakat Nias terhadap lingkungan, manusia dan
kebudayaan, sehingga dapat dikatakan bahwa karakter dari masyarakat Nias adalah
adaptif. Karakter yang adaptif tersebut juga merupakan bentuk jatidiri
masyarakat Nias. beberapa kearifan tersebut sangat mungkin dapat disebarluaskan
pada masyarakat umum (di luar masyarakat Nias) mengingat memiliki nilai-nilai
yang bersifat universal.
Daftar Pustaka
Bellwood,
Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Geertz,
Clifford, 1995. Kebudayaan dan Agama.
Yogyakarta: Kanisius
Danandjaja. James. 2002. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip,
Dongeng, dan Lain-Lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Hammerle,
P. Johannes, 2004. Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu
Interpretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias
Joedodibroto,
Rijadi, 2008. “Mengenal Arsitektur Nias”
dalam Nias Dari Masa Lalu Ke Masa Depan. Jakarta: BPPI, hal.184 -- 263
Koentjaraningrat.1997. Pengantar
Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta
Ritzeer,
George dan Douglas J. Goodman, 2004. Teori
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Soeprapto, Riyadi, 2002. Interaksionisme
Simbolik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wiradnyana,
Ketut. 2010. “Perubahan Makna
Perahu Sebagai Simbol Pada Tradisi Megalitik di Nias Selatan (Kearifan Lokal
Masyarakt Nias Selatan)” dalam Kearifan
Lokal Dalam Arkeologi. Medan:74-95
Wiradnyana,
Ketut. 2010. Legitimasi Kekuasaan Pada
Budaya Nias, Paduan Penelitian Arkeologi dan Antropologi. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
Wiradnyana,
Ketut. 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara
Kontribusinya pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Wissema, Gustaaf Gerard, 1947. Young
Tertiary and Quaternary Gastropoda from The Island of Nias, (malay
Archipelago). Leiden: N.V.drukkeerij en Uitgevers-Mij y/h